Bagi yang ingin memaksimalkan setiap jengkal halaman, paving block berpori juga menjadi pilihan cerdas. Paving ini memiliki rongga kecil yang memungkinkan air hujan menembus ke tanah, bukan memantul ke selokan. Di rumah-rumah perkotaan yang halamannya dipaving rapat, jenis paving berpori bisa menjadi penyelamat resapan air.
Dalam skala rumah tangga, pemanenan air hujan bisa disesuaikan kebutuhan. Untuk kebutuhan minum, kita bisa menambah lapisan filtrasi dan sterilisasi seperti sinar UV atau perebusan. Untuk mencuci dan menyiram, cukup menggunakan filter pasir dan kerikil. Sistemnya fleksibel, mulai dari yang paling sederhana hingga yang modern.
Kearifan lokal juga memberi inspirasi. Di beberapa desa di Nusa Tenggara Timur, air hujan ditampung dalam tempayan tanah liat besar yang menjaga suhu air tetap sejuk. Sementara di Yogyakarta, ada rumah-rumah yang memanfaatkan sumur resapan di pekarangan untuk menambah debit air sumur keluarga. Di Jakarta, komunitas hijau mengembangkan rain garden atau taman yang dirancang khusus untuk menampung dan meresapkan air hujan sambil mempercantik halaman.
Bagi ibu rumah tangga, memanen air hujan bukan hanya soal teknis, tapi juga soal kemandirian. Kita tak lagi sepenuhnya bergantung pada pasokan air dari PDAM atau sumur yang bisa kering sewaktu-waktu. Lebih dari itu, gerakan ini mendidik anak-anak untuk menghargai air sebagai sumber kehidupan yang tak boleh disia-siakan.
Bayangkan jika setiap rumah di desa maupun kota memiliki sistem PAH sederhana. Saat musim hujan, penampungan terisi penuh. Saat musim kemarau, kita punya cadangan. Tidak hanya rumah tangga yang diuntungkan, tapi juga lingkungan. Banjir bisa berkurang karena air hujan tidak langsung lari ke saluran pembuangan.
PAH juga bisa menjadi gerakan komunitas. Di kampung saya, ibu-ibu PKK mulai membuat program bank air hujan. Setiap rumah diminta membuat minimal satu lubang biopori dan satu drum penampungan. Hasilnya, saat kemarau tiba, warga tidak perlu berebut air bersih.
Kemandirian air rumah tangga dimulai dari kesadaran memanen hujan. Saat kita bijak mengelola air dari langit, kita selamatkan masa depan keluarga dan bumi.Â
Tidak perlu biaya besar untuk memulai. Drum bekas, talang plastik, saringan sederhana, bahkan ember besar bisa menjadi langkah awal. Jika ada rezeki lebih, kita bisa menambah teknologi filtrasi untuk menjadikan air hujan layak minum. Semua dimulai dari kesadaran, lalu berkembang menjadi kebiasaan.
Gerakan memanen air hujan adalah bentuk investasi jangka panjang. Bukan hanya untuk ketersediaan air rumah tangga, tapi juga untuk keberlanjutan lingkungan. Sebagai ibu rumah tangga, saya percaya setiap tetes hujan yang kita simpan adalah tabungan kehidupan bagi keluarga dan bumi ini.
Akhirnya, mari kita mulai dari rumah masing-masing. Lihat talang atap kita, pikirkan bagaimana air hujan itu bisa ditangkap dan disimpan. Dengan gerakan ini, kita bisa berkata pada anak-anak: "Nak, air ini bukan hanya dari keran, tapi dari langit yang kita rawat bersama."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI