Mohon tunggu...
Umi Nadhira
Umi Nadhira Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga pejuang keluarga harmonis

Suka masak untuk dinikmati orang-orang tercinta

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Menabung Air dari Langit, Gerakan Ibu Rumah Tangga Atasi Krisis Air Bersih

16 Agustus 2025   05:42 Diperbarui: 19 Agustus 2025   09:55 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung tadah hujan di Kamal Muara, Jakarta (Sumber: tirto.id)

Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya tahu betul betapa pentingnya air bersih bagi kehidupan sehari-hari. Dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, hingga menyediakan air minum sehat bagi keluarga, semuanya membutuhkan ketersediaan air yang cukup. 

Namun, kenyataannya, tidak semua wilayah di Indonesia selalu memiliki pasokan air bersih yang lancar, terutama saat musim kemarau panjang. 

Di sinilah saya mulai menyadari bahwa menunggu bukan solusi. Kita harus menjemput air itu sendiri. Salah satu jawabannya ada di atas kepala kita, air hujan.

Air hujan adalah anugerah yang sering kita biarkan mengalir begitu saja ke selokan. Padahal, air ini cenderung memiliki kadar pencemar yang rendah, apalagi jika kita mengambilnya langsung dari atap rumah. 

Artinya, dengan sedikit penanganan, air hujan bisa menjadi sumber alternatif untuk berbagai kebutuhan, bahkan bisa diminum jika dikelola dengan baik. Konsep inilah yang mendorong gerakan Pemanenan Air Hujan (PAH) yang kini mulai dilirik di berbagai daerah.

Gerakan PAH bukan hanya soal menampung air untuk dipakai, tapi juga soal menghemat dan melestarikan lingkungan. 

Setiap tetes hujan yang kita simpan berarti mengurangi ketergantungan pada air tanah, yang di banyak kota sudah mulai berkurang drastis. Bagi ibu rumah tangga, ini bukan sekadar urusan teknis, tapi juga bentuk tanggung jawab terhadap masa depan anak-anak kita.

Air hujan bukan sekadar anugerah alam, tapi sumber kehidupan yang bisa kita simpan. Setiap tetes yang kita jaga hari ini, adalah warisan untuk anak cucu esok hari.

Cara paling sederhana memanen air hujan adalah dengan menyediakan wadah penampungan. Di desa, saya sering melihat tetangga menempatkan drum biru besar di bawah talang rumah. Air yang terkumpul digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci peralatan, atau memberi minum ternak. Di kota, kita bisa memodifikasinya menjadi tangki air yang terhubung langsung ke talang atap, lengkap dengan filter sederhana dari pasir, kerikil, dan arang untuk menyaring kotoran.

Selain wadah penampungan, ada metode yang lebih "ramah tanah" seperti sumur resapan. Sumur ini berfungsi meresapkan air hujan ke dalam lapisan tanah dan batuan pembawa air, sehingga cadangan air tanah terisi kembali. Model sumur resapan bisa berupa saluran terbuka atau tertutup. Di halaman rumah perkotaan yang sempit, ukuran sumur resapan bisa disesuaikan tanpa memakan banyak tempat.

Ada pula teknologi sederhana bernama lubang resapan biopori. Dibuat secara vertikal dengan diameter 10--25 cm dan kedalaman sekitar 1 meter, lubang ini bisa kita isi sampah organik rumah tangga seperti sisa sayur atau daun kering. Hasilnya ganda, air hujan lebih mudah meresap dan tanah menjadi subur berkat proses pengomposan alami.

Bagi yang ingin memaksimalkan setiap jengkal halaman, paving block berpori juga menjadi pilihan cerdas. Paving ini memiliki rongga kecil yang memungkinkan air hujan menembus ke tanah, bukan memantul ke selokan. Di rumah-rumah perkotaan yang halamannya dipaving rapat, jenis paving berpori bisa menjadi penyelamat resapan air.

Dalam skala rumah tangga, pemanenan air hujan bisa disesuaikan kebutuhan. Untuk kebutuhan minum, kita bisa menambah lapisan filtrasi dan sterilisasi seperti sinar UV atau perebusan. Untuk mencuci dan menyiram, cukup menggunakan filter pasir dan kerikil. Sistemnya fleksibel, mulai dari yang paling sederhana hingga yang modern.

Kearifan lokal juga memberi inspirasi. Di beberapa desa di Nusa Tenggara Timur, air hujan ditampung dalam tempayan tanah liat besar yang menjaga suhu air tetap sejuk. Sementara di Yogyakarta, ada rumah-rumah yang memanfaatkan sumur resapan di pekarangan untuk menambah debit air sumur keluarga. Di Jakarta, komunitas hijau mengembangkan rain garden atau taman yang dirancang khusus untuk menampung dan meresapkan air hujan sambil mempercantik halaman.

Bagi ibu rumah tangga, memanen air hujan bukan hanya soal teknis, tapi juga soal kemandirian. Kita tak lagi sepenuhnya bergantung pada pasokan air dari PDAM atau sumur yang bisa kering sewaktu-waktu. Lebih dari itu, gerakan ini mendidik anak-anak untuk menghargai air sebagai sumber kehidupan yang tak boleh disia-siakan.

Bayangkan jika setiap rumah di desa maupun kota memiliki sistem PAH sederhana. Saat musim hujan, penampungan terisi penuh. Saat musim kemarau, kita punya cadangan. Tidak hanya rumah tangga yang diuntungkan, tapi juga lingkungan. Banjir bisa berkurang karena air hujan tidak langsung lari ke saluran pembuangan.

PAH juga bisa menjadi gerakan komunitas. Di kampung saya, ibu-ibu PKK mulai membuat program bank air hujan. Setiap rumah diminta membuat minimal satu lubang biopori dan satu drum penampungan. Hasilnya, saat kemarau tiba, warga tidak perlu berebut air bersih.

Kemandirian air rumah tangga dimulai dari kesadaran memanen hujan. Saat kita bijak mengelola air dari langit, kita selamatkan masa depan keluarga dan bumi. 

Tidak perlu biaya besar untuk memulai. Drum bekas, talang plastik, saringan sederhana, bahkan ember besar bisa menjadi langkah awal. Jika ada rezeki lebih, kita bisa menambah teknologi filtrasi untuk menjadikan air hujan layak minum. Semua dimulai dari kesadaran, lalu berkembang menjadi kebiasaan.

Gerakan memanen air hujan adalah bentuk investasi jangka panjang. Bukan hanya untuk ketersediaan air rumah tangga, tapi juga untuk keberlanjutan lingkungan. Sebagai ibu rumah tangga, saya percaya setiap tetes hujan yang kita simpan adalah tabungan kehidupan bagi keluarga dan bumi ini.

Akhirnya, mari kita mulai dari rumah masing-masing. Lihat talang atap kita, pikirkan bagaimana air hujan itu bisa ditangkap dan disimpan. Dengan gerakan ini, kita bisa berkata pada anak-anak: "Nak, air ini bukan hanya dari keran, tapi dari langit yang kita rawat bersama."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun