"Jangan kita menjadi lemah dengan bertindak menurutkan perasaan. Aku sangat mendukungmu. Kita punya prioritas masing -masing. Itu yang utama, " ya Tuhan, kuatkan hatiku.Â
Noval masih terdiam tetap pada posisinya. Lalu merengkuh tubuhku, menyadarkan kepalaku dalam dadanya yang bidang.Â
Tanpa setahunya, karena aku menunduk, kedua mataku menggenang. Bulir-bulir bening pun menetes tak mampu kubendung lagi.Â
Tapi itu hanya reaksiku sesaat. Aku harus kuat, untukku dan  juga Noval. tak akan  kubiarkan diriku larut lalu kami  menjadi lemah. Ooh, Tidak!Â
"Aku tidak mau menunggumu. Suatu saat kau pulang, kau tahu di mana mencariku. Di Banyuwangi rumah Ibuku. Di Surabaya ini kau juga tahu rumah ayahku," kujeda menghela napas sejenak. Dadaku sesak.
"Pergilah saja dengan langkah penuh keyakinan. Dan yakinlah! Â kalau memang kita berjodoh, Tuhan pasti punya cara untuk menyatukan kita kkembali. InsyaAllah, " keluar semua akhirnya.Â
"Duhai, Novina-ku. Sudah kuduga dikau akan sekuat ini. Thanks, Dear, " lebih kuat Noval mendekapku. Keharuan kian menyesak di dadaku. Tapi aku lega, berhasil mengakhiri dengan baik. Setidaknya untuk saat ini.Â
Alhamdulillah, Puji Syukurku pada Tuhan.Â
***