Dalam ilmu politik dan filsafat negara, tujuan negara merupakan konsep fundamental yang menentukan bagaimana sebuah pemerintahan dibangun dan dijalankan. Secara umum, tujuan negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Namun, cara mencapai tujuan ini berbeda-beda tergantung pada teori yang dianut. Dua teori yang menonjol dalam perdebatan ini adalah fasisme dan individualisme, yang masing-masing menawarkan pendekatan yang sangat kontras dalam memahami peran negara.
Teori fasisme menekankan supremasi negara di atas individu dan menuntut loyalitas penuh dari rakyatnya. Sebaliknya, teori individualisme mengutamakan kebebasan individu dan membatasi campur tangan negara dalam kehidupan pribadi. Artikel ini akan mengkaji bagaimana kedua teori ini mendefinisikan tujuan negara serta implikasi dari penerapannya dalam sistem pemerintahan.
Fasisme: Negara Sebagai Entitas Tertinggi
Fasisme adalah ideologi politik yang berkembang pada awal abad ke-20, terutama melalui kepemimpinan Benito Mussolini di Italia dan Adolf Hitler di Jerman. Fasisme menekankan bahwa negara adalah entitas yang lebih tinggi dari individu, di mana kepentingan kolektif harus diutamakan di atas kepentingan pribadi.
Dalam pandangan fasisme, tujuan negara adalah menciptakan persatuan, stabilitas, dan kekuatan nasional dengan mengendalikan seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Negara dianggap sebagai entitas yang hidup, yang harus kuat dan tidak boleh terpecah oleh kepentingan individu atau kelompok. Oleh karena itu, ideologi ini sering kali menolak demokrasi dan pluralisme, karena dianggap dapat melemahkan kesatuan nasional.
Benito Mussolini, pemimpin fasis Italia, pernah mengatakan, "Segala sesuatu dalam negara, tidak ada sesuatu pun di luar negara, tidak ada sesuatu pun yang melawan negara." Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam sistem fasis, negara mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Warga negara harus patuh dan mengabdi kepada negara, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebebasan individu mereka.
Dalam sistem pemerintahan fasis, pemimpin memiliki otoritas absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Negara mengontrol media, pendidikan, dan kebijakan ekonomi untuk memastikan bahwa setiap warga negara tunduk pada ideologi yang telah ditetapkan. Keunggulan dari sistem ini adalah kemampuannya menciptakan ketertiban dan kesatuan nasional dengan cepat. Namun, kelemahannya adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan yang besar, serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Sejarah menunjukkan bahwa sistem fasis sering kali berakhir dengan pemerintahan yang otoriter dan represif. Contohnya, Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler menerapkan kebijakan yang menindas kelompok-kelompok tertentu dan menekan kebebasan berbicara. Meskipun awalnya membawa pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, kebijakan tersebut pada akhirnya menyebabkan kehancuran besar dalam Perang Dunia II.
Individualisme: Negara Sebagai Penjaga Hak Individu
Di sisi lain, teori individualisme memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan fasisme. Individualisme menekankan bahwa individu memiliki hak dan kebebasan yang harus dilindungi oleh negara, bukan dikendalikan olehnya. Teori ini memiliki akar dalam pemikiran filsuf seperti John Locke dan Adam Smith, yang mengadvokasi kebebasan pribadi, kepemilikan pribadi, dan sistem ekonomi berbasis pasar.
Dalam teori individualisme, tujuan negara adalah melindungi hak-hak dasar warganya, seperti hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan properti. Negara hanya bertindak sebagai fasilitator yang memastikan bahwa tidak ada individu yang dirugikan oleh tindakan orang lain. Dengan kata lain, peran negara adalah menjaga hukum dan ketertiban, bukan mengontrol kehidupan masyarakat secara penuh.