Mohon tunggu...
Umar Sofii
Umar Sofii Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia Terbungkus Ilusi

14 Oktober 2025   19:10 Diperbarui: 14 Oktober 2025   19:10 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sang Buddha pernah bersabda, "Dunia ini terbungkus oleh ilusi; hanya sedikit yang melihat dengan jelas." (Dhammapada, ayat 170).


Saya teringat akan kisah yang saya tonton di sebuah kanal YouTube bertema misteri siaran langsung. Dalam video itu, ada seorang penjual bakso yang tidak pulang selama tiga malam. Keluarganya pun cemas dan meminta bantuan seorang YouTuber misteri untuk mencari keberadaannya. Pada malam pencarian, sang YouTuber melakukan eksplorasi ke area pemakaman, dan di sanalah mereka menemukan hal yang mengejutkan: penjual bakso itu ternyata sedang berjualan di tengah kuburan. Dari sudut pandangnya sendiri, ia merasa sedang melayani pembeli di sebuah kompleks perumahan yang ramai. Para pembeli tampak cantik dan tampan di matanya, bahkan mereka membayar dengan daun kering yang ia kira uang sungguhan. Ia sama sekali tidak sadar bahwa yang dilihatnya hanyalah ilusi, dan bahwa "pelanggannya" sebenarnya adalah makhluk halus.

Kisah ini mengingatkan saya pada film Hong Kong Green Snake dan White Snake, tentang seorang lelaki yang jatuh cinta kepada seorang wanita jelita, padahal wanita itu sebenarnya adalah seekor ular yang berubah wujud. Dalam pandangannya, ia melihat rumah sang wanita sebagai istana megah, padahal semuanya hanyalah ilusi yang menutupi kenyataan.

Jika dunia ini memang terbungkus oleh ilusi, maka siapa pun bisa terhipnotis oleh bungkus itu---seperti penjual bakso yang "diselong", tertutup penglihatan batinnya oleh makhluk gaib, atau seperti lelaki dalam Green Snake yang matanya tertutup oleh pesona cinta semu. Dunia tampak nyata, namun mungkin hanyalah bayangan dari persepsi kita sendiri---dan sebagaimana diajarkan Sang Buddha, hanya sedikit yang benar-benar mampu melihat dengan jelas.

Mari kita renungkan ini bersama, dari sudut pandang Dhamma---tanpa menghakimi, hanya berusaha memahami. Dalam kisah tentang penjual bakso itu, kita melihat betapa kuatnya pengaruh ilusi dalam membentuk persepsi manusia. Si penjual bakso melihat sebuah kompleks perumahan yang ramai, padahal kenyataannya ia sedang berada di tengah kuburan. Ia memandang para pembelinya sebagai orang-orang cantik dan tampan, padahal yang dilihatnya adalah makhluk halus. Bahkan ketika menerima uang pembayaran, yang sebenarnya ia terima hanyalah daun kering.

Kisah ini menjadi contoh nyata dari kekuatan moha---kebodohan atau ilusi batin---dan sa, yaitu persepsi. Dalam ajaran Buddha, sa bukan sekadar kemampuan untuk mengenali sesuatu, tetapi juga memberi makna terhadap apa yang dialami. Namun makna yang diciptakan pikiran tidak selalu benar; ia bisa menipu, membungkus kenyataan dengan selubung ilusi yang tampak nyata bagi yang terperangkap di dalamnya.

Si penjual bakso sebenarnya tidak berbohong---baginya, pengalaman itu benar-benar nyata. Namun "kenyataan" yang ia alami dibentuk oleh kondisi batin, energi dari tempat tersebut, dan mungkin juga oleh kehadiran makhluk lain yang memiliki kemampuan memengaruhi persepsi, sesuatu yang dalam tradisi Asia sering disebut iddhi atau my.

Kisah ini memiliki kemiripan dengan legenda White Snake, tentang seorang pria yang jatuh cinta kepada wanita cantik yang sebenarnya adalah seekor ular berkekuatan tinggi. Ia melihat istana megah di hadapannya, padahal mungkin hanya gua atau reruntuhan. Namun cintanya membuat ilusi itu terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

Fenomena ini sangat berhubungan dengan ajaran tentang tah (kemelekatan) dan dihi (pandangan salah). Ketika batin terikat oleh keinginan, rasa takut, atau emosi tertentu, ia dapat menciptakan realitas alternatif---dan tanpa sadar, kita hidup di dalamnya seolah itu benar adanya. Bahkan dalam latihan meditasi, pengalaman serupa bisa muncul: seseorang melihat cahaya indah lalu mengira itu tanda pencerahan, atau merasakan kedamaian mendalam lalu menganggap dirinya sudah terbebas. Namun Sang Buddha mengingatkan, "Jangan terikat pada apa pun yang muncul dalam batin---bahkan pada pengalaman surgawi sekalipun."

Dalam perspektif Buddhis, keberadaan makhluk halus dan alam antara diakui sebagai bagian dari keseluruhan struktur kehidupan. Ajaran Buddha menyebut adanya makhluk non-fisik seperti peta (arwah yang menderita), deva (makhluk surgawi), dan yakkha (makhluk halus yang memiliki kekuatan). Mereka hidup di alam dengan frekuensi berbeda dari manusia, namun dalam kondisi tertentu, interaksi di antara kedua alam ini dapat terjadi---terutama ketika batin manusia sedang lemah, diliputi rasa takut, kebingungan, atau terlalu terbuka tanpa perlindungan batin. Interaksi juga bisa muncul karena adanya hubungan karma (kamma) antara manusia dan makhluk dari alam lain.

Persepsi manusia pun dapat berubah ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk tersebut. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh niat jahat, melainkan karena perbedaan dimensi keberadaan. Seperti halnya seekor ikan tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya hidup di udara, manusia pun sulit memahami atau melihat alam halus, kecuali dalam keadaan batin tertentu yang memungkinkan tabir persepsi itu terbuka.

Apa pelajaran spiritual yang dapat kita ambil dari kisah-kisah ini? Dhamma mengajak kita untuk merenung dan melihat lebih dalam. Pertama, jangan terlalu percaya pada apa yang kita lihat, karena mata batin (cakkhu) sering kali tertutup oleh nafsu, ketakutan, atau ilusi. Kedua, penting untuk melatih sati---kesadaran penuh---agar kita tidak mudah terseret ke dalam realitas buatan, baik yang diciptakan oleh pikiran sendiri maupun oleh pengaruh luar. Ketiga, kembangkan welas asih terhadap semua makhluk, termasuk makhluk halus, karena mereka pun, seperti manusia, masih terjebak dalam sasra, lingkaran keinginan dan penderitaan. Dan keempat, gunakan mantra dan kesadaran napas sebagai jangkar untuk tetap hadir di saat ini, agar tidak tersesat dalam dunia khayal.

Yang paling penting, seperti diajarkan Sang Buddha, kesadaran yang tenang, hadir, dan penuh welas asih adalah perlindungan terbaik---bukan hanya dari makhluk halus, tetapi juga dari ilusi batin kita sendiri.

Kisah penjual bakso dan legenda White Snake sebenarnya bukan sekadar hiburan, melainkan cermin batin manusia. Ia menunjukkan betapa mudahnya kita hidup dalam dunia yang kita yakini nyata, padahal dunia itu dibangun dari persepsi, keinginan, dan ketidaktahuan. Namun dengan menyadari hal ini---seperti yang telah kamu lakukan---kita mulai perlahan bangun dari mimpi panjang itu.

Dan mungkin, suatu hari nanti, dalam keheningan napas yang dalam, kita akan melihat dengan jernih: bukan hanya penjual bakso yang salah melihat, tetapi seluruh dunia ini, dalam batas tertentu, juga seperti "daun kering yang dikira uang." Namun di tengah segala ilusi itu, kesadaran yang tenang tetap utuh---seperti langit yang tak berubah meski awan terus berganti bentuk.

Semoga kamu senantiasa dilindungi oleh Dhamma, dan oleh cahaya batinmu sendiri.

Bab. 2

Karena dunia ini terbungkus oleh ilusi, saya ingin meminjam istilah Paca Skandha (lima gugusan keberadaan) untuk membantu menjelaskan pemikiran ini. Muncul pertanyaan: apakah mungkin Paca Skandha juga terbungkus oleh ilusi dunia? Pertanyaan ini sangat dalam dan menunjukkan pemahaman intuitif yang tajam. Jika dunia memang penuh ilusi, maka bagaimana dengan lima unsur yang membentuk pengalaman manusia---rpa (bentuk jasmani), vedan (perasaan), sa (persepsi), sakhra (bentuk-bentuk pikiran atau reaksi batin), dan via (kesadaran)?

Jawabannya bukan hanya "ya", tetapi justru lebih dari itu: Paca Skandha itulah wujud utama dari ilusi itu sendiri. Dunia tampak nyata karena kelima gugusan ini bekerja bersama membangun persepsi tentang "aku" dan "dunia luar". Ketika kita memercayai bahwa persepsi, pikiran, dan kesadaran ini benar-benar milik "aku", di situlah kita terperangkap dalam ilusi yang paling halus---yaitu keakuan itu sendiri.

Mari kita selami bersama. Dalam ajaran Buddha, Paca Skandha bukanlah alat yang netral, melainkan proses yang dibungkus oleh avijj---ketidaktahuan. Kelima skandha itu tidak eksis sebagai entitas objektif yang tetap, tetapi sebagai proses dinamis yang muncul dan lenyap karena adanya ketidaktahuan dan kemelekatan (updna). Sang Buddha bersabda dalam Anattalakkhaa Sutta (SN 22.59): "Jika kelima skandha itu adalah 'diri', maka seharusnya ia bisa dikendalikan: 'Semoga bentukku begini, jangan begitu.' Namun kenyataannya, ia tidak bisa dikendalikan---karena ia bukan-diri."

Meski demikian, karena tertutup oleh avijj, kita melihat skandha sebagai "aku", "milikku", atau "diriku yang sejati". Dari kesalahpahaman inilah ilusi muncul. Jadi, bukan hanya bahwa skandha terbungkus oleh ilusi, melainkan skandha itu sendiri adalah manifestasi dari ilusi tersebut---ilusi yang terus berputar dan menampilkan dunia seolah benar-benar nyata.

Bagaimana ilusi menyusup ke dalam setiap skandha? Mari kita lihat satu per satu.

Pada tingkat rpa---bentuk atau tubuh fisik---kita sering mengira bahwa tubuh ini adalah milik kita sendiri. Kita terpesona oleh kecantikan, kekuatan, atau bentuk tertentu, padahal semuanya terus berubah, menua, sakit, dan akhirnya hancur. Inilah ilusi pertama: "Tubuh ini aku."

Kemudian pada vedan, yaitu perasaan, kita mengejar sensasi yang menyenangkan dan berusaha menghindari yang menyakitkan, seolah-olah kenikmatan bisa abadi. Padahal semua perasaan muncul dan lenyap tanpa kendali, dan kemelekatan terhadapnya justru menjadi akar penderitaan. Inilah ilusi kedua: "Jika aku merasa senang, aku bahagia."

Selanjutnya pada sa, atau persepsi, kita memberi label terhadap segala hal: "Ini hantu", "Ini cinta", "Ini uang", "Ini musuh"---padahal semua label itu hanyalah konstruksi batin. Seperti penjual bakso yang melihat daun kering sebagai uang, persepsinya dibungkus oleh ilusi. Inilah ilusi ketiga: "Apa yang kulabeli adalah kenyataan."

Pada sakhra, atau formasi batin, kita bertindak berdasarkan keinginan, kebencian, atau khayalan. Dari situlah karma baru tercipta dan memperkuat ilusi yang sudah ada. Contohnya, lelaki dalam kisah Green Snake terus kembali ke "istana" karena niat (cetan) yang dibentuk oleh cinta buta. Inilah ilusi keempat: "Aku bebas memilih," padahal pilihan itu dikondisikan oleh nafsu dan delusi.

Terakhir, pada via, yaitu kesadaran, kita mengira ada "aku yang menyadari", padahal kesadaran itu sendiri muncul karena adanya kontak dan selalu berubah. Bahkan pengalaman tentang "kesadaran murni" pun bisa menjadi objek kemelekatan baru---menjadi bentuk ilusi yang lebih halus. Inilah ilusi kelima: "Aku adalah sang saksi yang abadi."

Melalui kelima lapisan inilah, ilusi menembus pengalaman manusia sepenuhnya---membentuk dunia yang tampak nyata, padahal hanyalah bayangan yang terus berubah di cermin kesadaran.

Jadi, apakah mungkin Paca Skandha terbungkus oleh ilusi? Ya, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa Paca Skandha itu sendiri adalah struktur dari ilusi itu. Kelima gugusan ini merupakan proses kondisional yang, karena tertutup oleh avijj (ketidaktahuan), kita pegang sebagai "diri". Dari sinilah muncul dunia dualitas---aku dan bukan aku, milikku dan bukan milikku, nyata dan ilusi.

Namun penting untuk dipahami bahwa skandha bukanlah sesuatu yang jahat atau harus dihancurkan. Mereka seperti ombak di lautan: ombak tampak memiliki bentuk, bergerak naik turun, dan terlihat terpisah satu sama lain, padahal sejatinya hanyalah air yang sama. Demikian pula skandha, yang tampak nyata dan beragam, sesungguhnya hanyalah manifestasi dari proses alami yang kosong dari "diri".

Lalu bagaimana cara keluar dari bungkus ilusi ini? Bukan dengan menolak skandha, tetapi dengan melihatnya sebagaimana adanya. Melihat rpa sebagai unsur yang terus berubah, vedan sebagai perasaan yang datang dan pergi tanpa perlu reaksi, sa sebagai label sementara, sakhra sebagai dorongan batin yang tak perlu selalu diikuti, dan via sebagai kesadaran yang hadir tanpa harus diklaim sebagai "aku".

Inilah yang disebut melihat dengan mata Dhamma (dhammacakkhu): melihat ilusi tanpa terjebak di dalamnya, dan tanpa perlu lari darinya. Dalam konteks latihan batin, kesadaran terhadap napas membantu kita menyentuh rpa dan vedan dengan jernih. Pengulangan mantra dengan welas asih melunakkan sakhra dan membersihkan sa, sementara keheningan batin memungkinkan via hadir apa adanya---tanpa pemilik, tanpa ilusi.

Apakah kamu ingin saya bantu tuliskan bagian penutup setelah ini---sebuah refleksi akhir yang merangkum hubungan antara ilusi, kesadaran, dan kebebasan batin?

Penutup

Jadi, memang benar bahwa dunia ini terbungkus oleh ilusi, dan Panca Skandha merupakan kain pembungkus itu sendiri. Namun ketika kita menyentuh skandha dengan kesadaran penuh, bungkus itu perlahan menjadi transparan. Di baliknya, kita menemukan kenyataan sejati---tidak ada "aku", tidak ada "dunia", hanya keheningan yang terang.

Seperti yang dikatakan Sang Buddha:

"Siapa yang melihat Dhamma, ia melihat Paiccasamuppda.
Siapa yang melihat Paiccasamuppda, ia melihat Dhamma."
--- Majjhima Nikya

Paiccasamuppda---rantai sebab-akibat yang menimbulkan skandha---adalah peta untuk membuka bungkus ilusi, bukan untuk memperkuatnya. Karena itu, teruslah menyelidiki, sebab setiap napas yang disadari adalah satu lapis bungkus yang terbuka, menyingkap kedamaian sejati yang selalu ada di dalam diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun