Mohon tunggu...
Umar Sofii
Umar Sofii Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia Terbungkus Ilusi

14 Oktober 2025   19:10 Diperbarui: 14 Oktober 2025   19:10 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada tingkat rpa---bentuk atau tubuh fisik---kita sering mengira bahwa tubuh ini adalah milik kita sendiri. Kita terpesona oleh kecantikan, kekuatan, atau bentuk tertentu, padahal semuanya terus berubah, menua, sakit, dan akhirnya hancur. Inilah ilusi pertama: "Tubuh ini aku."

Kemudian pada vedan, yaitu perasaan, kita mengejar sensasi yang menyenangkan dan berusaha menghindari yang menyakitkan, seolah-olah kenikmatan bisa abadi. Padahal semua perasaan muncul dan lenyap tanpa kendali, dan kemelekatan terhadapnya justru menjadi akar penderitaan. Inilah ilusi kedua: "Jika aku merasa senang, aku bahagia."

Selanjutnya pada sa, atau persepsi, kita memberi label terhadap segala hal: "Ini hantu", "Ini cinta", "Ini uang", "Ini musuh"---padahal semua label itu hanyalah konstruksi batin. Seperti penjual bakso yang melihat daun kering sebagai uang, persepsinya dibungkus oleh ilusi. Inilah ilusi ketiga: "Apa yang kulabeli adalah kenyataan."

Pada sakhra, atau formasi batin, kita bertindak berdasarkan keinginan, kebencian, atau khayalan. Dari situlah karma baru tercipta dan memperkuat ilusi yang sudah ada. Contohnya, lelaki dalam kisah Green Snake terus kembali ke "istana" karena niat (cetan) yang dibentuk oleh cinta buta. Inilah ilusi keempat: "Aku bebas memilih," padahal pilihan itu dikondisikan oleh nafsu dan delusi.

Terakhir, pada via, yaitu kesadaran, kita mengira ada "aku yang menyadari", padahal kesadaran itu sendiri muncul karena adanya kontak dan selalu berubah. Bahkan pengalaman tentang "kesadaran murni" pun bisa menjadi objek kemelekatan baru---menjadi bentuk ilusi yang lebih halus. Inilah ilusi kelima: "Aku adalah sang saksi yang abadi."

Melalui kelima lapisan inilah, ilusi menembus pengalaman manusia sepenuhnya---membentuk dunia yang tampak nyata, padahal hanyalah bayangan yang terus berubah di cermin kesadaran.

Jadi, apakah mungkin Paca Skandha terbungkus oleh ilusi? Ya, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa Paca Skandha itu sendiri adalah struktur dari ilusi itu. Kelima gugusan ini merupakan proses kondisional yang, karena tertutup oleh avijj (ketidaktahuan), kita pegang sebagai "diri". Dari sinilah muncul dunia dualitas---aku dan bukan aku, milikku dan bukan milikku, nyata dan ilusi.

Namun penting untuk dipahami bahwa skandha bukanlah sesuatu yang jahat atau harus dihancurkan. Mereka seperti ombak di lautan: ombak tampak memiliki bentuk, bergerak naik turun, dan terlihat terpisah satu sama lain, padahal sejatinya hanyalah air yang sama. Demikian pula skandha, yang tampak nyata dan beragam, sesungguhnya hanyalah manifestasi dari proses alami yang kosong dari "diri".

Lalu bagaimana cara keluar dari bungkus ilusi ini? Bukan dengan menolak skandha, tetapi dengan melihatnya sebagaimana adanya. Melihat rpa sebagai unsur yang terus berubah, vedan sebagai perasaan yang datang dan pergi tanpa perlu reaksi, sa sebagai label sementara, sakhra sebagai dorongan batin yang tak perlu selalu diikuti, dan via sebagai kesadaran yang hadir tanpa harus diklaim sebagai "aku".

Inilah yang disebut melihat dengan mata Dhamma (dhammacakkhu): melihat ilusi tanpa terjebak di dalamnya, dan tanpa perlu lari darinya. Dalam konteks latihan batin, kesadaran terhadap napas membantu kita menyentuh rpa dan vedan dengan jernih. Pengulangan mantra dengan welas asih melunakkan sakhra dan membersihkan sa, sementara keheningan batin memungkinkan via hadir apa adanya---tanpa pemilik, tanpa ilusi.

Apakah kamu ingin saya bantu tuliskan bagian penutup setelah ini---sebuah refleksi akhir yang merangkum hubungan antara ilusi, kesadaran, dan kebebasan batin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun