Mohon tunggu...
Ulviana
Ulviana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah presiden untuk diri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

PAIMIN : Muara Keilmuan Tertua Berasal dari Desa

5 Desember 2021   08:15 Diperbarui: 5 Desember 2021   08:27 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muara keilmuan tertua berasal dari desa, cengkraman malam kian memanas kala bapak separuh abad bercerita, layaknya dalang sedang pentas.


Senja hari ini begitu memanjakan perasaan, menyejukan mata disertai menyebut kalimat rasa syukur  yang di agungkan kepada Tuhan yang maha segalanya. Bagaimana tidak ? cuaca pada hari-hari seblumnya, dukuh kedungkenongo Desa Sidomulyo, Kab. Blora di guyur tetesan air hujan. Bagi kami pendatang, dalam menjalankan tugas akhir perkuliahan yaitu kuliah kerja nyata atau sering di singkat KKN, hujan menjadi salah satu faktor penghambat. Meski begitu bagi masyarakat setempat, hujan menandakan waktu icir telah menjemput.


Namanya juga rasa suka dan tidak suka, ada seseorang berkata hal itu adalah relative. Bagaimana merasakannya, dan dari sudut mana dalam menanggapinya. Terlepas dari rasa suka dan tidak suka yang relative itu, selalu terdapat sisi positive yang seharusnya terus di bentuk dengan rasa syukur.


Langkah demi langkah membawakan kami pada muara keilmuan yang ada di desa. Tak sengaja kami bertemu dengan Pak Paimin, di rumah salah satu warga yang tidak jauh dari posko kami, malam di hari ke-25 KKN SID IAIN Pekalongan. agak canggung kami memulai percakapan sebab suasana yang tergambar begitu mencekam. Hehe biar keliatan dramatis gitu aja si.


Raut muka Pak Paimin begitu datar setelah kami datang ke rumah itu, perasaan dingin yang di bentuk oleh beliau begitu terasa bagi kami setalah duduk di sampingnya. Padahal kedatangan kami telah di awali dengan uluk salam dan mencium tangan beliau,  sebagai salah satu akhlak yang baik kepada orang yang lebih tua. Terlepas dari itu, budaya ini begitu kental pula dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan khususnya bagi masyarakat di Pulau Jawa, kami kira ada yang salah dari uluk salamnya atau cium tangannya kepada beliau. Kali aja menciumnya harus bolak balik, layaknya santri yang mencium tangannya kyei. 

Setelah itu kami terdiam dan membisu pada detik-detik pertama, kami coba memulai dengan pembahasan yang ringan, basa basi nggak penting tapi sebenarnya penting. Lhoh bagaimana bisa begitu ?
“Pak, kursine niki didamel saking wit jati nopo ?” ujar salah satu dari kami, pak paimin membalas.

“Nggih re, ketingale nopo maleh menawi sanes jati niki” seorang yang duduk didepan kami kemudian memperkenalkan pak paimin begitupun sebaliknya. Setelah sesi perkenalan itu barulah kami merasakan gejolak yang mengecam tadi mulai terkikis sedikit demi sedikit. 

“Hehe nggih re, jenengan sehat ketingale nggih pak ?” Padahal jawabannya sudah pasti, kenapa juga masih ditanyakan ya nggak ? namanya juga basa basi. Hal pentingnya yaitu membuat kemistri sebelum masuk pada pembahasan yang lebih mendalam.
Pembahasan mengalir begitu saja setelah basa basi, sontak kami teringat dengan beberapa fenomena yang ada di masyarakat setempat terkhusus menyoal kenek gawe. Kenek gawe merupakan kata khas Desa Sidomulyo yang mewakili makna gotong royong. Ciee kata khas desa,hal itu karena kami pertama kali mendengarkannya.


FYI nih ! kenek gawe merupakan aktivitas gotongroyong untuk membuat fasilitas desa seperti jalan kampung, mushola atau lainnya yang bersifat umum demi kemaslahatan bersama, tidak hanya fasilitas umum saja kenek gawe ini juga ada bentuk lain seperti membangun rumah warga dan memanen sawah secara bergilir. Padahal kalau dilihat membangun rumah dan memanen sawah yang sifatnya milik pribadi itu tidak ada sangkut pautnya dengan warga di sekelilingnya sebab sudah menjadi tangungjawabnya sendiri sang pemilik rumah atau sawah, dan hasilnya pun dinikmati oleh pemiliknya. Lalu dari mana kenek gawe ini bermula ?


Pertanyaan itulah yang sedang kami ingin cari jawabannya. Semakin terang rasanya setelah kami mendengarkan cerita dari Pak Paimin, laki-laki dengan umur setengah abad itu. Beliau menyampaikan bahwa “kenek gawe iku wis enek teko mbien mulo, di maksudke kanggo bentuk urip iku biso bebrayan, urip iku biso gentenan, urip iku gak dewenan. Dongeng bien mulo, namane yo dongeng seng diduduh ga eneng. Iku bien wayah zaman jepang masyarakat kene disaduki, dirampasi harta ne, dikon medamel nopo mawon perintahe mangke diparingi sak wontene hasile. Saking kados niku warga mriki mulai membakar semangat go ngusir penjajah. Koyo ngunu iku bebarengane sampe wayah iki”. Pak Paimin dengan penuh semangat mendongeng layaknya dalang yang sedang pentas, sedang kami tertunduk mendengarkan dongeng tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun