Dalam pandangan Islam Kejawen, guru tetap menjadi tuntunan utama. Kiai atau mursyid dipandang bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga wasilah perantara untuk mengenal Gusti Allah. Murid berkhidmah kepada guru, bukan karena takut, melainkan karena sadar bahwa melalui ketulusan dan kerendahan hatinya, ilmu akan berubah menjadi cahaya yang menerangi jalan hidup.
Ajaran tasawuf yang dibawa para wali berpadu indah dengan falsafah Jawa tentang keselarasan dan pengendalian diri. Maka lahirlah tradisi laku prihatin, tapa brata, dan semedi yang diislamkan menjadi mujahadah dan riyadhah. Semua berakar pada satu kesadaran: jalan menuju Tuhan adalah jalan menundukkan diri.
Islam Kejawen menjadi wujud dari kebijaksanaan yang mendalam: Islam yang berakar di bumi Nusantara, tumbuh dengan bahasa lokal, dan berbuah adab. Di sinilah tradisi ngajeni guru menemukan napas barunya. Dari resi menjadi kiai, dari padepokan menjadi pesantren, dari sembah menjadi sungkem, namun ruhnya tetap sama: rasa hormat kepada pembawa cahaya kebenaran.
Karena itu, ketika ada yang menuduh bahwa sikap menghormati guru adalah bentuk feodalisme, sesungguhnya mereka lupa akan akar sejarahnya. Sebab di tanah Jawa, penghormatan kepada guru bukan perbudakan, melainkan pernyataan cinta kepada sumber cahaya, warisan suci yang menyatukan budaya dan agama, bumi dan langit, lahir dan batin.
Kesalahpahaman Modern
Sayangnya, di masa kini banyak orang menilai tradisi luhur ini dengan kacamata sempit dan logika yang terpisah dari akar sejarahnya. Dalam arus modernisasi dan gerakan purifikasi agama, muncul pandangan yang menolak segala bentuk penghormatan lahiriah terhadap guru seperti sungkem, cium tangan, atau khidmah karena dianggap sebagai bid'ah, bahkan sisa feodalisme dan perbudakan. Mereka mengira bahwa sikap hormat adalah bentuk pengagungan manusia melebihi Tuhan, padahal yang mereka tolak sejatinya bukan ajaran leluhur, melainkan bayangan dari sesuatu yang tidak mereka pahami dengan utuh.
Pemahaman semacam itu lahir dari keterputusan sejarah dan hilangnya rasa budaya. Orang modern kerap menilai masa lalu dengan ukuran logika hari ini seolah segala sesuatu harus diukur dengan konsep kesetaraan formal dan rasionalitas Barat. Padahal, dalam pandangan Jawa dan Islam klasik, kesetaraan tidak berarti meniadakan penghormatan. Menghormati guru bukan berarti merendahkan diri, tetapi menempatkan diri pada posisi yang pantas di hadapan ilmu dan kebijaksanaan.
Dalam budaya Jawa, ngajeni sangat berbeda dengan nyembah. Ngajeni berarti memberikan tempat yang layak bagi sesuatu yang dimuliakan, sedangkan nyembah berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada yang disembah. Seseorang ngajeni guru bukan karena ia menganggap sang guru sebagai Tuhan, tetapi karena guru menjadi penerang jalan menuju Tuhan. Maka ketika seorang murid menunduk, mencium tangan, atau bahkan bersungkem, yang ia tundukkan bukan tubuhnya di hadapan manusia, tetapi egonya di hadapan ilmu.
Tradisi ini bukan hanya hidup di tanah Jawa, tetapi juga berakar kuat dalam sejarah Islam itu sendiri. Para ulama besar dahulu menjadikan adab sebagai pintu ilmu.
Imam Malik rahimahullah, misalnya, ketika hendak mengajar hadis, akan mandi terlebih dahulu, memakai pakaian terbaik, lalu duduk dengan penuh wibawa bukan karena kesombongan, tetapi karena ia memuliakan ilmu yang berasal dari Rasulullah .
Imam Syafi'i dikenal begitu takzim kepada gurunya, Imam Malik; ia tak berani membuka lembar kitab di hadapan sang guru tanpa izin, dan berkata: "Aku membolak-balik lembaran kitab di hadapan Imam Malik dengan sangat pelan, agar tidak mengganggu beliau dengan suara kertas."
Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal, yang rela berjalan ratusan mil hanya untuk mendengar satu hadis dari seorang guru, tanpa mengeluh sedikit pun.
