Bangsa yang kehilangan adab terhadap guru sejatinya sedang kehilangan arah peradabannya. Sebab peradaban besar tidak lahir dari kecerdasan semata, melainkan dari hati yang tahu hormat. Dari guru yang dihormati lahir murid yang beradab, dari murid yang beradab lahir masyarakat yang berkeadaban, dan dari masyarakat yang berkeadaban lahir bangsa yang berperadaban.
Namun, di zaman kini, ketika banyak orang lebih senang menghakimi daripada memahami, tradisi luhur semacam ini sering dipandang dengan sinis. Mereka yang hatinya tertutup akan terus memandang hormat sebagai tunduk, dan pengabdian sebagai kebodohan. Mereka melihat bentuk lahiriah tetapi buta terhadap makna batin. Sebab cahaya tidak akan tampak bagi mata yang enggan menoleh ke arah terang.
Bagi mereka yang membenci, barangkali tak akan pernah mencoba memahami bahwa ngajeni guru bukan bentuk penghambaan, melainkan jalan menuju kebebasan batin, kebebasan dari kesombongan diri. Tetapi bagi siapa yang masih mau membuka hati, akan tahu bahwa tradisi menghormati guru bukanlah masa lalu yang harus ditinggalkan, melainkan akar yang menegakkan pohon keilmuan bangsa ini.
Sebagaimana pesan para leluhur:
"Adab iku panggonan cahaya, lan guru iku panyalur padhang ilahi."
(Adab adalah tempat bersemayamnya cahaya, dan guru adalah penyalur terang Ilahi.)
Maka menjaga tradisi menghormati guru bukan sekadar melestarikan budaya, melainkan menjaga agar cahaya peradaban bangsa tidak padam di tangan generasi yang lupa asal-usulnya. Sebab mereka yang menolak memahami, akan terus hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang diciptakan oleh keangkuhan mereka sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI