Mohon tunggu...
Ulil Absor
Ulil Absor Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penuhi Hidup Dengan Kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Menghormati Guru: Antara Tuduhan Feodalisme dan Warisan Spiritual Jawa

20 Oktober 2025   08:08 Diperbarui: 20 Oktober 2025   08:23 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah arus modernisasi, globalisasi, dan perubahan nilai yang begitu cepat, banyak sendi kehidupan bangsa yang mulai goyah, termasuk cara manusia memandang makna penghormatan. Tradisi menghormati guru yang dahulu menjadi nafas pendidikan dan bagian tak terpisahkan dari kepribadian Nusantara kini sering disalahpahami dan bahkan dianggap kuno. Sikap takzim kepada guru, seperti sungkem, mencium tangan, atau berkhidmah di pesantren dan lembaga pendidikan tradisional, oleh sebagian orang dipandang sebagai bentuk feodalisme, tanda ketertinggalan, atau perbudakan batin yang tidak sesuai dengan semangat zaman modern.

Padahal, pandangan seperti itu lahir bukan dari pemahaman yang dalam, melainkan dari keterputusan sejarah dan hilangnya kesadaran akar budaya. Generasi sekarang, yang tumbuh di tengah dunia serba instan dan individualistis, kerap melihat relasi guru dan murid hanya sebatas kontrak pengetahuan: guru mengajar, murid belajar, selesai. Mereka lupa bahwa dalam pandangan leluhur, hubungan itu jauh lebih sakral relasi batin antara sang pembawa cahaya (guru) dan pencari cahaya (murid), yang diikat oleh adab, rasa hormat, dan pengakuan terhadap sumber ilmu.

Ketika tradisi penghormatan itu dilepaskan dari akar maknanya, yang tersisa hanyalah pandangan sempit: seolah tunduk berarti hina, dan hormat berarti rendah. Padahal, menghormati bukanlah tunduk kepada manusia, tetapi menundukkan kesombongan diri agar hati siap menerima kebenaran. Itulah inti dari ajaran luhur Jawa bahwa tata krama kepada guru bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan laku spiritual, bentuk kesadaran diri bahwa ilmu sejati hanya bisa diterima oleh mereka yang hatinya bersih dan rendah hati.

Dengan melupakan makna itu, kita tidak hanya kehilangan adat, tapi juga kehilangan jiwa pendidikan yang sejati: pendidikan yang memanusiakan, menumbuhkan rasa, dan menuntun budi, bukan sekadar menjejalkan informasi. Maka, memahami kembali makna menghormati guru berarti bukan sekadar melestarikan tradisi Jawa, tetapi juga mengembalikan nilai-nilai universal kemanusiaan tentang cinta, penghargaan, dan rasa syukur kepada mereka yang menuntun manusia menuju pencerahan.

Jejak Leluhur: Guru Sebagai Sumber Cahaya

Jauh sebelum datangnya Islam ke tanah Jawa, jauh sebelum berdirinya pesantren dan madrasah, masyarakat Jawa kuno sudah memiliki pandangan yang luhur tentang peran seorang guru. Dalam pandangan kosmologis Nusantara yang berakar pada ajaran Hindu--Buddha dan kepercayaan asli Jawa, guru bukan sekadar pengajar ilmu duniawi, melainkan penuntun batin, pandhita, atau resi sosok yang menuntun manusia dari gelapnya kebodohan menuju terang pengetahuan sejati.

Dalam naskah-naskah kuna, guru sering digambarkan sebagai gu--ru, dari suku kata gu yang berarti kegelapan dan ru yang berarti cahaya. Guru, karenanya, dimaknai sebagai sang pembawa padhang, penerang jalan hidup, perantara antara manusia dan Sang Hyang Sumber Cahya (Tuhan). Di tangan guru, ilmu tidak sekadar rumus atau hafalan, melainkan sarana penyucian jiwa. Maka, menghormati guru bagi orang Jawa kuno bukanlah urusan formalitas sosial, melainkan laku spiritual, tanda syukur atas hadirnya pembawa terang dalam hidup manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, penghormatan itu termanifestasi dalam laku sujud, sembah, dan ngawula kepada guru. Murid yang datang berguru ke padepokan tidak hanya membawa pena dan naskah, tetapi juga membawa kerendahan hati. Mereka hidup bersama sang guru, membersihkan halaman, menimba air, menyiapkan dupa atau sesaji, dan dengan penuh tulus melayani kebutuhan sehari-hari guru mereka. Semua itu bukan bentuk perbudakan, melainkan upaya menata batin agar siap menerima ilmu dengan hati yang bersih.

Para murid diajarkan bahwa ilmu sejati tidak hanya dicapai dengan kecerdasan pikiran, tetapi dengan kesucian rasa. Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan di hadapan guru harus dijalankan dengan kesadaran penuh berjalan dengan tenang, berbicara lembut, tidak menatap mata guru terlalu lama, dan selalu andhap asor (rendah hati). Bahkan, dalam beberapa tradisi, murid tidak diperkenankan duduk sejajar dengan guru tanpa diundang. Semua itu adalah bahasa rasa yang menunjukkan betapa dalamnya makna penghormatan di budaya Jawa kuno.

Sikap andhap asor inilah yang menjadi inti dari proses belajar dalam budaya Jawa. Murid yang ingin memperoleh pencerahan harus terlebih dahulu menundukkan keangkuhan dirinya. Sebab, kesombongan adalah tirai antara manusia dan ilmu. Maka, setiap gerak hormat, setiap sembah, setiap sujud kepada guru bukanlah bentuk tunduk kepada manusia, melainkan tunduk kepada kebenaran yang disampaikan melalui sang guru.

Tradisi ini menjadikan hubungan guru dan murid di masa Jawa kuno bukan sekadar hubungan pengajar dan pelajar, melainkan ikatan batin antara yang menerangi dan yang diterangi. Guru dipandang sebagai cermin keteladanan hidup, bukan hanya pengucap ajaran. Oleh sebab itu, murid yang sungguh-sungguh tidak hanya mendengarkan sabda guru, tetapi juga meneladani perilakunya bagaimana ia bersikap, berbicara, berjalan, bahkan bagaimana ia berdiam diri. Semua mengandung ajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun