Kurikulum Merdeka merupakan sebuah terobosan dalam sistem pendidikan Indonesia yang menekankan pada fleksibilitas dan pembelajaran yang relevan dengan kemampuan siswa. Salah satu pendekatan yang diterapkan adalah Teaching at the Right Level (TaRL), sebuah metode yang pertama kali diadopsi dari India. Namun, jika ditinjau lebih dalam, filosofi ini sejatinya sudah lama tercermin dalam gagasan pendidikan Indonesia, khususnya dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional. Penerapan TaRL dan filosofi Dewantara dalam Kurikulum Merdeka menjadi upaya penting untuk menciptakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Pendidikan yang sesuai dengan kodrat anak dan kodrat zaman akan menghasilkan individu yang mampu berkontribusi secara optimal.
Filosofi TaRL dan Keterkaitannya dengan Ki Hajar Dewantara
Teaching at the Right Level pertama kali diperkenalkan oleh Pratham Foundation di India pada awal 2000-an untuk mengatasi kesenjangan dalam keterampilan literasi dan numerasi. Pendekatan ini menekankan pentingnya mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan belajar mereka, bukan hanya berdasarkan usia atau kelas. Melalui metode ini, guru dapat memberikan instruksi yang lebih tepat sasaran, sehingga setiap siswa memiliki kesempatan untuk belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Di sisi lain, pemikiran Ki Hajar Dewantara juga sangat relevan dalam konteks ini. Beliau mengedepankan prinsip pendidikan yang menghormati kodrat alam anak dan menyesuaikan dengan perkembangan mereka. Semboyan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" menekankan bahwa peran guru adalah memfasilitasi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa. Filosofi ini sejalan dengan prinsip TaRL, di mana guru berperan sebagai pendamping yang menyesuaikan pengajaran dengan tingkat kemampuan setiap individu.
Tantangan Penilaian Hasil Belajar dalam Konteks TaRL
Salah satu tantangan utama dalam penerapan TaRL di Kurikulum Merdeka adalah keselarasan antara metode pengajaran dan sistem penilaian formal seperti rapor dan ijazah. Di Indonesia, penilaian hasil belajar siswa sering kali bersifat standar, di mana nilai-nilai disajikan dalam bentuk angka yang seragam untuk semua siswa. Sistem ini tidak sepenuhnya mencerminkan proses pembelajaran yang terjadi di kelas melalui metode TaRL.
Dalam pendekatan TaRL, siswa mungkin belajar pada level yang berbeda meskipun mereka berada di kelas yang sama. Namun, ketika hasil pembelajaran dituangkan dalam bentuk rapor atau ijazah, tantangan muncul. Penilaian formal yang hanya mengandalkan angka sering kali tidak memperlihatkan kemajuan individual yang dicapai melalui pembelajaran yang disesuaikan. Hal ini dapat memicu kebingungan, terutama saat siswa berpindah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, di mana nilai rapor menjadi tolak ukur utama penerimaan.
Solusi Menuju Penilaian yang Lebih Komprehensif
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan reformasi dalam sistem penilaian. Jika Kurikulum Merdeka benar-benar ingin mengadopsi filosofi TaRL dan gagasan Ki Hajar Dewantara, maka sistem penilaian juga harus mencerminkan pendekatan yang lebih komprehensif dan individual. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah mengembangkan rapor deskriptif yang tidak hanya mencatat nilai angka, tetapi juga mencakup deskripsi kemajuan belajar siswa. Pendekatan ini memungkinkan guru dan orang tua untuk melihat perkembangan siswa secara holistik.
Selain itu, proses transisi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi perlu mempertimbangkan portofolio pembelajaran siswa, bukan hanya nilai akhir. Dengan demikian, siswa yang telah berkembang melalui pembelajaran yang terdiferensiasi tidak akan terhambat oleh standar penilaian yang seragam.
Kesimpulan
Filosofi Teaching at the Right Level dalam Kurikulum Merdeka memiliki akar kuat dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, yang menekankan pentingnya pendidikan yang sesuai dengan kodrat alam anak dan kebutuhan individual mereka. Namun, tantangan masih ada dalam menyelaraskan metode pembelajaran ini dengan sistem penilaian formal yang berlaku saat ini. Reformasi dalam penilaian diperlukan agar setiap siswa dapat berkembang secara optimal dan potensi mereka diakui sesuai dengan filosofi pendidikan yang lebih inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI