Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etika Guru dan Politiknya

11 September 2017   20:59 Diperbarui: 12 September 2017   02:54 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Etika Politik Guru Di Media Sosial?

Nah, tidak dipungkiri lagi bahwa akhir-akhir ini media sosial sudah menjadi ajang perpecahan bangsa, baik antar individu, antar kelompok, antar ras, organisasi, partai bahkan antar lembaga negara. Ini merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap integritas bangsa dan harus DIREDAM. Kebebasan berpolitik dan berpendapat memang tak boleh dikekang, namun perilaku, ETIKA dan pemikiran/ideologi perlu disaring dan dipikirkan dampak negatifnya.

Bila anda seorang pengajar dan pendidik, gunakan media sosial dengan bijak dan "smart". Ingat, "kata-kata" akan menjadi senjata yang ampuh, namun bisa menjadi bumerang yang menyakitkan yang bisa menghancurkan sebuah negara. Gunakan ide berpolitik anda dengan baik di media sosial. Seandainya berteman dengan banyak murid didikan anda, maka berhati-hatilah menyampaikan pesan anda. Kata-kata dan cuitan anda yang menilai adalah para pembaca pesan. Persepsi mereka akan berubah entah menghargai anda, atau justru "ilfil" terhadap kicauan anda di media sosial.

Ada ungkapan bahasa Jawa, "Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa" yang artinya, jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa. Ungkapan itu bernada nasihat agar setiap orang (pengajar) tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, bukan sebaliknya yang tinggi hati. Rendah hati tidak berarti rendah diri, juga tidak menganggap rendah orang lain. Dalam ajaran Jawa, hal ini ditekankan agar seseorang (pengajar, guru, dosen) dapat melakukan koreksi ke dalam sehingga tidak terdorong untuk "menghujat" atau merendahkan orang lain.

Apalagi saat ini budaya kritik negatif berhamburan di media sosial dan seolah tak terbendung. Mirisnya anak didik kita terpengaruh dan menjadi pribadi yang bukannya unggul, akan tetapi hanya pandai "mengkritik", "like" dan "comment" namun saat dilepas di dunia nyata mereka tak mampu bertahan. Banyak yang hanya "rumangsa bisa" (merasa bisa atau mampu) saja, tanpa memiliki rasa "bisa rumangsa" (bisa merasa). Alhasil, generasi muda yang hanya pandai "mencela" atau "menghujat", karena menyadari dirinya tak mampu.

Bukan itu yang kita inginkan bukan?

Bogor, 19 November 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun