Tradisi Malam Tujuh Likur ini bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga dan sebagai bentuk rasa syukur menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pembuatan kue pasung melambangkan kebersamaan, kehangatan keluarga, serta pelestarian warisan kuliner yang telah diwariskan secara turun-temurun. Selain itu, kue pasung juga dianggap sebagai simbol keberkahan dan rasa syukur atas rezeki yang diperoleh selama bulan Ramadan.
Menurut Ketua RT setempat, Bapak Sumartono, menjaga tradisi ini sangat penting untuk memperkuat identitas budaya masyarakat.
"Kami ingin anak-anak muda tetap melestarikan budaya ini. Malam Tujuh Likur adalah simbol semangat dan kebersamaan menjelang Hari Raya. Tradisi seperti ini harus terus dijaga agar tidak hilang seiring waktu," katanya.
Bagi masyarakat, menjaga tradisi ini bukan hanya tentang kebiasaan turun-temurun, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek moyang yang telah mewariskan budaya ini. Selain itu, momen ini juga menjadi kesempatan untuk berbagi dengan sesama, karena banyak warga yang membuat kue pasung dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada sanak saudara maupun tetangga.
Kue pasung dibuat dari campuran tepung beras, gula merah, dan santan yang dimasukkan ke dalam daun pisang berbentuk kerucut, lalu dikukus hingga matang. Kue ini memiliki tekstur lembut dan cita rasa manis yang khas. Proses pembuatannya membutuhkan keterampilan dalam melipat daun pisang agar bentuk kue tetap rapi dan tidak bocor saat dikukus.
Beberapa warga masih menggunakan cara tradisional dalam pembuatan kue ini, seperti mengaduk adonan dengan tangan dan menggunakan alat-alat sederhana. Proses ini dianggap lebih otentik dan menjaga cita rasa khas kue pasung. Selain itu, memasak menggunakan kayu bakar masih menjadi pilihan sebagian warga karena diyakini memberikan aroma yang lebih khas pada kue pasung.
Salah seorang warga, Pak Kartono (50), menceritakan bagaimana ia sudah terbiasa membantu ibunya membuat kue pasung sejak kecil.
"Dulu saya sering membantu ibu memasak kue pasung. Sekarang, saya mengajarkan anak-anak dan cucu saya agar mereka tetap mengenal dan mencintai tradisi ini. Rasanya bahagia bisa meneruskan warisan ini kepada generasi berikutnya," katanya.
Dengan aroma kue pasung yang menggoda dan kebersamaan yang terjalin, Malam Tujuh Likur di Desa Lumbang Penyengat menjadi momen yang penuh kehangatan. Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan antar warga, tetapi juga menjadi bentuk penghormatan terhadap budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Warga berharap bahwa generasi mendatang tetap menjaga dan meneruskan tradisi ini agar tidak pudar oleh perkembangan zaman.
Tradisi ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat tetap mempertahankan identitas dan nilai-nilai budaya di tengah modernisasi. Meskipun zaman berubah, semangat gotong royong dan kebersamaan dalam pembuatan kue pasung tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sambas.