Mohon tunggu...
ujang suryadi
ujang suryadi Mohon Tunggu... Content Writer

Individu yang memiliki antusiasme tinggi terhadap dunia teknologi dan konten digital. Dengan hobi bermain game, saya mengembangkan ketajaman dalam berpikir strategis dan kemampuan adaptasi terhadap inovasi baru. Keingintahuan saya terhadap perkembangan teknologi mendorong saya untuk terus mengeksplorasi tren digital terbaru, menjadikan saya pribadi yang dinamis, kreatif, dan siap berkontribusi di era industri berbasis teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Pertalite Oplosan Hingga Migrasi ke Shell: Membaca Konflik dan Krisis Kepercayaan Publik terhadap Pertamina

4 Mei 2025   17:18 Diperbarui: 4 Mei 2025   17:12 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam beberapa pekan terakhir, publik kembali dihebohkan oleh temuan kasus Pertalite yang dioplos lalu dijual sebagai Pertamax di SPBU milik Pertamina di kawasan Kaim. Skandal ini menambah deretan panjang persoalan yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan energi milik negara tersebut. Jika sebelumnya masyarakat sudah akrab dengan isu antrian BBM subsidi, perbedaan kualitas bahan bakar di tiap SPBU, dan dugaan permainan distribusi. Kasus Pertalite yang dioplos menjadi Pertamax bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan indikasi lemahnya pengawasan internal dan rapuhnya integritas dalam tata kelola BUMN energi. Fakta bahwa praktik tersebut bisa terjadi di level distribusi menunjukkan ada celah sistemik dalam kontrol kualitas dan akuntabilitas. Ini bukan sekadar ulah oknum, tetapi gejala dari sistem yang sedang mengalami pembusukan moral dan administratif.

Ketika rakyat diminta berhemat dan taat pada sistem subsidi yang rumit, ternyata pada saat yang sama, praktik manipulatif justru terjadi dari dalam lembaga negara yang seharusnya menjadi garda depan dalam penyediaan energi yang adil dan merata. Dalam beberapa pekan terakhir, publik dikejutkan oleh temuan kasus pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax di SPBU milik Pertamina. Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina dan subholding-nya, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193 triliun per tahun . Praktik pengoplosan ini melibatkan pembelian Pertalite (RON 90) yang kemudian dicampur dan dijual sebagai Pertamax (RON 92) dengan harga lebih tinggi.

Tidak butuh waktu lama bagi masyarakat untuk merespons. Gelombang perpindahan konsumen ke SPBU Shell, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, semakin tampak. Meski harga BBM non-subsidi di Shell sedikit lebih mahal, masyarakat tampaknya lebih memilih kepastian kualitas, kenyamanan pelayanan, dan kejelasan standar. Fenomena ini menunjukkan bahwa kepercayaan bukan hanya soal harga, tetapi tentang kejujuran dan integritas dalam pelayanan publik. Bagi banyak konsumen urban, membeli BBM bukan lagi sekadar mengisi tangki, tapi juga memilih etika dan standar mutu. Shell, sebagai pemain swasta asing, justru memperoleh legitimasi dari publik domestik karena berhasil menunjukkan konsistensi dan transparansi yang sulit ditemukan di SPBU Pertamina.

Kasus ini mencerminkan konflik mendalam antara harapan masyarakat terhadap perusahaan milik negara dan realitas yang mereka temui di lapangan. Pertamina, sebagai simbol kedaulatan energi nasional, seharusnya tampil sebagai pelayan rakyat. Namun dalam praktiknya, badan usaha milik negara ini justru terjebak dalam praktik korporatis yang tidak sehat dan kehilangan akar pengabdiannya pada publik. Krisis kepercayaan yang terjadi saat ini bukan sekadar dampak dari satu kasus oplosan, tetapi akumulasi dari berbagai kekecewaan yang tidak pernah ditangani secara serius. Ketika usaha negara gagal melindungi kepentingan publik, maka masyarakat akan bermigrasi bukan hanya secara fisik ke SPBU lain, tetapi juga secara ideologis dari nasionalisme ke pragmatisme.

Shell dan perusahaan sejenis bisa saja bukan pilihan ideal, tetapi dalam konteks saat ini, mereka menawarkan stabilitas, konsistensi, dan kejelasan tiga hal yang gagal dijaga oleh Pertamina. Ini bukan hanya soal energi, tetapi tentang kepercayaan pada negara dan kemampuan negara untuk mengelola sumber daya dengan adil dan jujur.
Dampak dari skandal ini terlihat dari perubahan perilaku konsumen yang mulai beralih ke SPBU swasta seperti Shell. Antrean panjang kendaraan di SPBU Shell menjadi pemandangan umum pasca terungkapnya kasus ini . Budiyanto, pemerhati transportasi dan hukum, menyatakan bahwa hilangnya kepercayaan konsumen terhadap Pertamina mendorong mereka berpaling ke BBM yang dipasarkan oleh swasta Shell. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumen tidak hanya mempertimbangkan harga, tetapi juga kualitas dan transparansi produk. Kepercayaan yang runtuh terhadap Pertamina membuat masyarakat mencari alternatif yang dianggap lebih dapat diandalkan.

Kasus ini mencerminkan konflik mendalam antara harapan masyarakat terhadap perusahaan milik negara dan realitas yang mereka hadapi. Pertamina, sebagai simbol kedaulatan energi nasional, seharusnya menjadi pelayan rakyat yang transparan dan akuntabel. Namun, praktik korupsi dan manipulasi yang terungkap justru menunjukkan sebaliknya.
Krisis kepercayaan ini tidak hanya berdampak pada Pertamina, tetapi juga mencoreng citra pemerintah di mata dunia. Ketika perusahaan milik negara gagal melindungi kepentingan publik, masyarakat cenderung beralih ke sektor swasta yang dianggap lebih transparan dan profesional. Shell dan perusahaan sejenis, meskipun bukan entitas domestik, menawarkan stabilitas dan konsistensi yang gagal disediakan oleh Pertamina. Dalam konteks ini, reformasi menyeluruh di tubuh Pertamina menjadi keharusan. Tanpa langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola dan mengembalikan kepercayaan publik, bukan tidak mungkin dominasi perusahaan energi nasional ini akan terus tergerus oleh pesaing swasta, baik domestik maupun internasional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun