Sejak duduk di bangku SMP, Mariah dan Riri sudah seperti bayangan satu sama lain. Ke mana Mariah pergi, di sanalah Riri berada. Mereka bertumbuh bersama, membagi canda, tangis, dan kenangan. Di SMA pun mereka sebangku. Saling mengisi, saling menguatkan, atau setidaknya, itulah yang Mariah percaya selama ini.
Namun, Riri selalu menunjukkan sisi yang sulit ditebak. Setiap kali Mariah memiliki sesuatu yang baru, Riri tak pernah absen berkata,
"Aku juga punya itu, udah lama malah."
Padahal Mariah tahu betul, barang itu baru saja rilis beberapa hari yang lalu.
Tapi Mariah tak pernah mempermasalahkannya. Ia pikir, begitulah Riri mengekspresikan dirinya. Toh, mereka sahabat, pikir Mariah. Bahkan ketika Riri mulai menunjukkan sikap yang melampaui batas---seperti tiba-tiba tahu nomor ponsel pacar Mariah, atau menghubungi pria-pria yang sedang dekat dengannya---Mariah masih menahan diri untuk tidak curiga.
Namun rasa tak enak mulai tumbuh saat Riri juga dekat dengan Dimas, pacarnya yang terakhir. Anehnya, Riri seperti tahu segalanya tentang hubungan mereka, bahkan tahu celah yang bisa membuat Dimas dan Mariah renggang. Dan benar saja, salah satu penyebab mereka putus adalah karena ucapan Riri kepada Dimas---ucapan yang menyakitkan, membelokkan maksud Mariah, dan memperkeruh suasana.
Setelah lulus, Mariah bekerja di kota. Ia mulai menata hidup, meninggalkan kenangan-kenangan yang menyakitkan, termasuk kisah cinta dengan Dimas yang kandas. Setiap libur kerja, Mariah pulang kampung, dan seperti biasa, ia menemui Riri---yang kini hanya di rumah tanpa pekerjaan.
Hingga suatu hari, Mariah mendengar kabar mengejutkan: Riri dekat dengan Dimas. Bahkan, kata orang-orang, mereka hampir berpacaran. Mariah terdiam. Ia tak tahu harus merasa marah, kecewa, atau hanya tertawa getir.
Sebab kini ia sadar, Riri tak pernah benar-benar melihatnya sebagai sahabat. Di balik pelukan hangat dan senyum ceria, ada racun yang perlahan menyusup.
Hari itu, Mariah duduk di depan jendela kamarnya. Angin sore berhembus pelan. Ia menarik napas panjang dan membiarkan dirinya menerima kenyataan.
"Sudahlah," bisiknya.
Tak semua teman itu sahabat. Kadang, mereka hanya serpihan pelajaran hidup yang harus kita pelajari, meski dengan cara pahit.
Sejak itu, Mariah mulai membatasi ceritanya. Tak semua hal harus dibagikan, terutama pada mereka yang hanya menunggu celah untuk menyakiti. Kini ia belajar menjaga jarak, bukan karena benci---tapi karena cinta pada diri sendiri.
Catatan:
Cerita ini menjadi pengingat bahwa tidak semua yang dekat itu tulus. Kadang, racun paling berbahaya justru datang dari tangan yang dulu menggenggam kita dengan hangat.
-Tamat-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI