Ada film yang setelah selesai ditonton segera hilang begitu saja, seperti asap rokok yang dibawa angin. Kita bisa menikmatinya sebentar, tapi kemudian tidak meninggalkan bekas. Namun, ada juga film yang terasa terus melekat, bahkan diam-diam ikut hidup bersama kita.Â
Film 96 bagi saya termasuk yang kedua. Saya tidak bisa begitu saja beranjak dari tempat duduk selepas menontonnya. Seolah ada yang menahan, seakan ada yang tertinggal, semacam gema yang tak mau pergi.
Cerita film arahan Premkumar Chandran  ini sederhana. Malah sangat sederhana. Ram, seorang fotografer, tanpa sengaja bertemu kembali dengan cinta pertamanya, Janaki, ketika mereka sudah dewasa.Â
Mereka dulu saling menyukai di sekolah, tapi tidak pernah berani atau tidak sempat mengucapkannya dengan jelas. Waktu memisahkan mereka, lalu kehidupan membawa masing-masing ke jalan yang berbeda.Â
Pertemuan itu seperti pintu yang lama terkunci dan tiba-tiba terbuka lagi. Hanya sebentar, hanya satu malam, tapi cukup untuk membuat kenangan lama bangkit dengan segala warna dan baunya.
Plot film yang rilis di tahun 2018 ini bahkan bisa diringkas hanya dengan satu kalimat: dua orang yang pernah saling mencintai bertemu kembali. Tidak ada yang luar biasa dari segi peristiwa. Tidak ada ledakan emosi yang dramatis. Tidak ada konflik besar. Semuanya hanya terdiri dari percakapan, senyuman tipis, tatapan, dan diam yang panjang.Â
Namun, justru di situlah letak kekuatan 96. Ia menangkap sesuatu yang sering kali terasa jauh lebih berat daripada teriakan atau tangisan: keheningan antara dua orang yang masih menyimpan rasa, tapi tahu bahwa hidup sudah membawa mereka ke arah yang berbeda.
Saya merasa sedang menonton sesuatu yang nyaris seperti kehidupan itu sendiri. Ram berjalan, memotret, pulang, tersenyum kikuk, menunduk, menahan kata-kata. Janaki tersenyum lembut, kadang memalingkan wajah, kadang matanya berkaca-kaca tanpa pernah benar-benar jatuh. Mereka seperti dua manusia yang tidak sedang berakting. Mereka ada di sana, di depan saya, dan saya percaya pada setiap gerakannya.
Mungkin karena latar seorang Premkumar Chandran  yang merupakan fotografer, sehingga sinematografi film ini terasa sangat mewah dalam kesederhanaannya.Â
Kamera tidak terburu-buru. Ia membiarkan kita melihat cahaya matahari sore yang jatuh di jalan, atau suasana kelas lama yang berdebu, atau lorong hotel yang sepi.Â