Camela dan Nina tumbuh di lingkungan yang sama, rumah mereka hanya berjarak tiga gang. Dari kecil mereka sering bermain bersama, berbagi bekal, hingga saling menjaga rahasia. Semua orang menganggap mereka sahabat sejati. Tapi tidak banyak yang tahu, hanya satu dari mereka yang benar-benar menganggap itu persahabatan.
Camela tumbuh menjadi gadis yang memesona, tidak hanya karena kecantikannya, tapi juga karena hati baik dan kepintarannya. Ia rajin belajar, disiplin, dan selalu menghargai orang lain. Sedangkan Nina, lebih suka dunia luar: berkeliaran, bermain, bersosialisasi. Ia kurang tertarik belajar, tapi tetap bertahan karena tahu bisa "ikut" Camela saat ada tugas atau ujian.
Di balik senyuman Nina, ada rasa iri yang tak pernah ia akui. Ia merasa selalu berada di bawah bayang-bayang Camela. Di sekolah, Camela selalu disukai guru, teman, bahkan anak-anak laki-laki. Diam-diam Nina merasa muak. Tapi ia pandai menyembunyikan itu semua. Ia tetap memanggil Camela "sahabat", meski di hatinya penuh dendam kecil yang makin tumbuh.
Puncaknya terjadi saat sekolah mengadakan lomba seni balet. Mereka berdua ikut. Camela dengan penuh semangat berlatih setiap sore, sementara Nina lebih sibuk mencari cara untuk membuat Camela gagal. Ia sengaja menaruh lem di sepatu Camela, bahkan memutar musik latihan agar Camela terganggu. Tapi semua usaha Nina gagal.
Hari penampilan tiba. Semua mata tertuju pada Camela yang menari begitu anggun dan penuh emosi. Gerakannya lembut, penuh ekspresi. Sorot kamera, tepuk tangan, bahkan juri pun terpukau. Nina yang tampil setelahnya terlihat kaku dan terburu-buru, matanya tak fokus.
Saat pengumuman pemenang, nama Camela disebut sebagai peraih nilai tertinggi. Semua bersorak. Tapi Nina berdiri dengan mata merah, tangannya mengepal. Ia menghampiri Camela dan berkata lantang, "Dari dulu kamu selalu jadi pusat perhatian! Aku benci kamu! Aku iri! Kamu cuma penghalang sinarku sejak kecil!"
Camela terdiam. Air matanya menetes. Ia tidak menyangka, semua kebaikannya selama ini dianggap sebagai ancaman. Tapi ia tetap berdiri tegar. "Apa yang aku dapat hari ini, Nina, bukan datang dari langit. Aku belajar, berlatih, berusaha. Kamu hanya mau hasil, tanpa mau kerja keras."
Persahabatan mereka pecah malam itu. Tak ada permintaan maaf. Tak ada pelukan. Hanya amarah yang menggantung.
Tahun-tahun berlalu. Camela tumbuh menjadi penari balet yang terkenal, tampil di panggung internasional. Ia juga membuka bisnis perhiasan yang sukses besar. Hidupnya penuh cahaya, seperti namanya.
Suatu hari, saat ia berjalan santai di depan sekolah lamanya, mengenang masa kecil yang pahit manis, matanya tertumbuk pada sosok yang familiar. Nina. Ia berjalan pelan bersama suaminya yang tampak kusut dan kasar, menggendong seorang anak kecil. Pakaian mereka lusuh. Suaminya merokok sambil bersungut-sungut.