Hujan turun seperti rentetan peluru kecil yang menabuh atap halte tua. Angin membawanya masuk dari sisi kanan, membuat dingin menjalar hingga ke tulang. Pria muda itu---Raka---mengatupkan jaket denimnya lebih rapat, sambil sesekali melirik ke arah perempuan tua yang duduk beberapa meter darinya.
Nenek itu mengenakan kain batik dan sweater abu yang sudah tampak usang, tapi bersih. Di sampingnya, sebuah payung merah muda yang sudah pudar bersandar, tidak dibuka, hanya tergeletak seperti benda kenangan. Raka membuka payung hitamnya sejak tadi, tapi tetap memilih berteduh karena arah angin yang tak bersahabat.
"Apa kereta belum juga datang, Nak?" tanya si nenek, suaranya lembut, nyaris tenggelam oleh derai hujan.
Raka menoleh dan tersenyum kecil. "Belum, Nek. Katanya terlambat setengah jam."
"Ah, seperti biasa," gumam nenek itu sambil tertawa kecil.
Diam-diam, Raka memperhatikan keriput di wajahnya, cara tangannya memeluk tas rajut tua yang penuh tambalan. Ada sesuatu yang aneh tapi akrab dari wanita itu. Entah cara bicaranya, atau sorot matanya yang seakan pernah Raka lihat di tempat lain---atau waktu lain.
"Payungnya kenapa nggak dipakai, Nek?" tanya Raka akhirnya.
Si nenek menoleh, lalu tersenyum samar. "Itu bukan payung untuk hujan. Itu payung untuk kenangan."
Raka mengernyit. "Maksudnya?"
Nenek itu menatap lurus ke depan, ke jalan yang mulai sepi karena hujan. Lalu ia berkata, "Tiga puluh tahun lalu, aku menunggu di halte ini. Sama seperti sekarang. Bedanya, waktu itu aku masih muda. Dan aku tak sendiri."