Mohon tunggu...
setiadi ihsan
setiadi ihsan Mohon Tunggu... Dosen - Social Worker, Lecturer.

Menulis itu tentang pemahaman. Apa yang kita tulis itulah kita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Objektivitas Berpendapat di Tengah Polarisasi Opini 01 dan 02

13 Mei 2019   21:38 Diperbarui: 13 Mei 2019   21:47 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam proses  menulis, sering kali saya menuliskan judul di tahap akhir. Alasannya lebih kepada pemanggilan ide ke dalam tulisan lebih bebas dan mengalir tidak disetir oleh judul yang yelah ditentukan.

Kali ini, saya menuliskan judul terlebih dahulu (seperti di atas), dan satu hal terjadi,  teenyata saya masih memikirkan judul lain yang lebih mewakili. Terpikirlah judul alternatif: Bersikap Netral tidak Harus Disebut Golput atau Menghilangkan Stereotif Golput dalam Berfikir Objektif.

Jadinya, saya menulis perihal  proses berfikir dalam menulis menjadi sebuah tulisan ini.

Dalam tulisan ini, really, saya ingin menyampaikan kegelisahan setidaknya kekhawatiran sebagai hasil dari mencermati satu isue di berbagai  media, apalagi kalau bukan isue people power.

Satu tulisan, kebetulan di kompasiana juga, saya pernah menyampaikan bahwa people power bukanlah barang haram dalam iklim demokrasi seperti di NKRI yang kita cintai ini.

Satu pesan di akhir saya menyampaikan harapan supaya penggagas issue people power masih dalam koridor demokrasi bukan hanya didominasi  oleh nafsu berkuasa.

Soal people power, saya masih melihat dua kubu pendapat yang ekstrim, dan ini bukan hanya dalam kasus people power aja, hampir untuk semua issue, kenapa harus terbelah dua, pendapat Kubu 01 dan Kubu 02.

lternatif Judul dengan memasukkan diksi Golput di atas pun didorong oleh karena saya bukan Golput, namun femomena yang ada opini selalu terpolarisasi kepada 2 kubu bertarung.

Berbicara pemerintah dan perlengkapannya, saat ini saya berpendapat bahwa mereka  mencerminkan atau mewakili pendapat 01. Padahal kalau kita cermati, paslon 01 dalam kapasitas calon presiden, dengan embel-embel petahana, idealnya pemerintah harus melihat sebagai capres, bukan presiden dalam arti pemegang kekuasaan tertinggi pasa pelantikan.

Geli, kalau ga disebut aneh, ketika kapasitas kontestan 01 dalam pilpres adalah calon presiden namun dalam praktikal keseharian sulit dibedakan sebagai presiden dengan segala akses dan power serta kewenangannya.

Menurut saya inilah pangkal "kengototan" capres 02 dan pendukungnya dalam menerbangkan issue people power.

"Kecurangan" yang semula dikhawatirkan pihak 02, kemudian disajikan dalam bentuk-ragam kecurangan masih dalam versi 02, bahkan dikompilasikan dan disajikan dan pada akhirnya dikatakan sebagai kecurangan masif dan terstruktur, oleh pemerintah dan perlengkapannya dalam hal ini KPU, Bawaslu dan juga Menko Polhukam, misalnya, tidak pernah diresponse "kecurangan" sebagai hal yang mesti dipertimbangkan dan segera ditindaklanjuti secara serius, namun sebaliknya lebih menyeret kepada paket upaya/program dan response dari pihak yang kalah.

Pemerintah lebih menyikapi people power sebagai tindakan makar yang berpotensi bahkan berupaya menjatuhkan pemerintah (baca: Presiden) yang sah dan mengancam persatuan NKRI.

Pertanyaan saya adalah, apakah apa yang disajikan dan dipresentasikan pihak 02 adalah sudah divonis kebohongan semata?
Dalam kapasitas apa pemerintah menjatuhkan vonis ini?

Atau pertanyaannya adalah apakah pemerintah benar-benar bulat bahwa pemilu dan pilpres 2019 ini sudah berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya?

Nah, menyikapi hal ini, saya berpendapat perlu difikir ulang mengenai pengaturan tegas capres petahana dalam kapasitasnya sebagai kontestan pemilu/pilpres.

Karena, selama praktek-praktek seperti sekarang ini masih berlaku, akses dan kewenangan capres petahana tidak ada bedanya ketika dia sebagai presiden berkuasa, ini akan menjadikan preseden "tuduhan kecurangan" dan upaya melanggengkan masa jabatan presiden adalah 10 tahun, bukan "5 tahun dan setelah itu bisa dipilih lagi untuk satu periodenya."

Setelah masa Pa SBY, sekarang Pa Jokowi (ketika dilantik kembali sbg presiden RI), dan lima tahun ke depan adalagi presiden baru yang ketika dilantik, dalam fikirannya sudah memutar otak bagaimana ia bisa meneruskan jejak 2 presiden sebelumnya, berkuasa dalam 2 periode dengan melakukan pemaksimalan akses dan kewenangan terhadap aparat pemerintah untuk meng-goal-kan ambisinya.

Sampai sini, muncul lagi alternatif judul tulisan ini: Masa Bhakti Presiden RI adalah 10 Tahun atau Perlunya Pengaturan Kewenangan Capres Petahana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun