Mohon tunggu...
Ubaidah Adielah
Ubaidah Adielah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang

Tertarik akan isu sosial dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanggapan Komparatif Kepemimpinan SBY-Jokowi akan Isu LCS

10 Januari 2023   10:20 Diperbarui: 10 Januari 2023   10:36 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengingat politik luar negeri Indonesia yang bersifat Bebas-Aktif sebuah manisfestasi dari KAA, tentunya memiliki peran yang penting dalam setiap pembuatan kebijakan. Saat ini jika kita menilik lebih jauh tentang perkembangan politik luar negeri Indonesia yang Bebas-Aktif, maka kita akan melihat beberapa perbedaan yang terjadi antara kebijakan politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo. Secara kasat mata, kebijakan Indonesia pada masa SBY lebih berfokus pada external negara dalam dunia internasional. Sedangkan Jokowi lebih berfokus pada internal negara.

Indonesia menunjukkan sikap yang 'netral' dalam setiap permasalahan yang terjadi di dunia internasional. Salah satu isu internasional yang masih terjadi saat ini adalah Laut China Selatan yang masih bersitegang. Laut China Selatan merupakan wilayah yang dipersengketakan oleh China dengan negara-negara Asia Tenggara. Seperti, Brunei Darussalam, Laos, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Taiwan, dan Indonesia di Kawasan Natuna -- terjadinya overlapping. Penyebab LCS sebagai wilayah yang diperebutkan adalah salah satunya, LCS merupakan jalur perairan tersibuk di dunia karena wilayah tersebut merupakan Sea Lines Of Trade (SLOT) dan Sea Lines Of Communication (SLOC) yang menghubungkan kedua Samudra, yakni samudra Hindia dan samudra Pasifik. Tidak hanya itu, LCS memiliki kekayaan alam yang melimpah yang menjadi penyebab seperti gas dan minyak bumi.

Hal tersebut terjadi dari sudut pandang China pada Laut China Selatan merupakan wilayahnya yang dipercaya sudah menjadi hak atas kepemilikkanya melalui peta historitas China Kuno Nine Dash Line . Hal tersebut bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku pada konstitusional PBB yang membahas akan perbatasan territori. Dalam tulisan ini, penulis akan menuliskan tentang opininya bagaimana Indonesia menyikapi permasalahan LCS yang dipengaruhi oleh dua rezim berbeda yaitu SBY dan Jokowi.  

Strategi SBY dalam Merespons Sengketa Laut China Selatan

Perbedaan rezim kekuasaan serta kondisi politik merupakan dua hal yang mendasari perbedaan kebijakan atau sikap yang diambil oleh Indonesia dalam menangani permasalahan Laut China Selatan. Dari masa kepresidenan dengan masa jabatan 2 periode, Susilo Bambang Yudhoyono yang mulai menjabat dari tahun 2004-2014 dengan cabinet Indonesia Bersatu I dan II mengeluarkan sikap atas tumpang tindih atau overlapping atas kawasan Natuna yang memasuki wilayah LCS pada tahun 2009 dari peta klaimnya Tiongkok -- Nine- Dash Line, dengan sikap damai dengan menggunakan soft diplomacy serta memposisikan diri sebagai fasilitator. Akibat dari pengklainan tersebut mengakibatkan ketegangan antara negara-negara yang terlibat. Seperti halnya Indonesia namun sikap yang diambil oleh Indonesia lebih netral atau malah memberikan fasilitas bagi negara-negara terkait untuk berdiplomasi.  

Sebagai negara yang memiliki kebijakan Bebas-Aktifnya Indonesia memainkan kebijakannya tersebut dan tidak menganggap adanya permasalahan overlapping atas pulau-pulau maka mereka tidak memiliki masalah overlapping pada perairan. Karena berdasarkan UNCLOS 1982 perbatasan laut sama dengan perbatasan tanah. Pada saat itu Indonesia menerapkan diplomasi preventif dengan kesadaran negara-negara untuk tidak memperburuk keadaan. Pada masa kepresidenan SBY, Indonesia berperan sebagai fasilitator untuk negara-negara konflik -- Brunei Darussalam, Laos, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Taiwan- dalam proses diplomasi dengan Tiongkok. Contoh upaya  Indonesia salah satunya adalah telah mengadakan workshop mengenai perselisihan konflik yang diikuti oleh negara-negara konflik bernama Managing Potential Conflicts in the South China Sea Workshop dari tahun 1990.

Mengingat bahwa Tiongkok merupakan negara ASEAN +3 -- ASEAN +3 merupakan negara anggota dari ASEAN dan tiga negara yang dianggap sebagai negara maju di wilayah Asia Tenggara (Tiongkok, Jepang, dan Korea Utara)- maka dari itu Indonesia berusaha untuk mengupayakan ketegangan militer antara claimants states dan Tiongkok, demi tetap terjalinnya hubungan baik dan masih bisa kooperatif antara ASEAN dan +3 negara tersebut. Upaya Indonesia dalam menyelesaikan konflik dengan menggunakan kerjasama ASEAN terlihat pada undangan negara ASEAN, yang disponsori oleh Indonesia, kepada Tiongkok untuk menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yang merupakan sebuah kesepakatan negara-negara ASEAN untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai dan bersepakat untuk tidak menggunakan kekerasan militer dalam menyelesaikan setiap permasalahan konflik kawasan.

Tidak hanya menjadi fasilitator. Namun, juga Indonesia tetap tidak lengah untuk mempertahankan keamanan wilayah natuna. Pada suatu ketika pada tahun 2010, KKP lokal menemukan pemancing Tiongkok yang melewati batas ZEE. Namun, kapal-kapal itu ternyata sudah dikawal oleh Kapal-Kapal Pengawas Pantai Tiongkok. Mereka mendesak meminta dengan paksa untuk melepaskan kapal-kapal serta awak-awak kapal Tiongkok yang tertangkap. Indonesia memenuhi tuntutan Tiongkok. Hal yang serupa terjadi Kembali Ketika tahun 2013. Ketika menghadapi situasi mengancam seperti itu, Indonesia lebih memilih untuk mengabaikan demi untuk tetap memiliki hubungan baik dengan Tiongkok. Indonesia bermaksud untuk menjalin hubungan baiknya dengan banyak negara. Hal tersebut berhubungan dengan prinsip SBY, "Thousand Friends Zero Enemy".

Strategi Jokowi dalam Merespons Sengketa Laut China Selatan

Kestabilan sebuah negara merupakan faktor yang penting dalam upaya menjaga legalitas, keamanan, perekonomian, hingga ideologi bangsa sebagai kepentingan nasional. Dalam bidang pertahanan dan keamanan, Presiden Joko Widodo bersikap tegas dalam merespons setiap hal yang berpotensi mengancam pertahanan dan keamanan bangsa. Klaim China terhadap Kepulauan Natuna yang menjadikan Indonesia terbawa dalam sengketa Laut China Selatan merupakan salah satu fenomena yang menjadi concern tersendiri bagi negara kita, yakni mengenai pertahanan, keamanan, ekonomi, hingga pelanggaran kedaulatan negara dan batas wilayah negara.

Di dalam wilayah Laut China Selatan, Indonesia memiliki beberapa kepentingan nasional berdaulat yang terusik, yakni kepentingan nasional atas keutuhan dan kestabilan kawasan serta kepentingan di bidang ekonomi. Peta Nine Dash Line yang dibuat oleh China mencakup kawasan Kepulauan Natuna yang sepenuhnya milik batas kontinen Indonesia. Pada tahun 2017 silam, bersama dengan pemerintah, Presiden Joko Widodo secara tegas memperjelas batas-batas wilayah negara guna mempertahankan yurisdiksi Kepulauan Natuna. Tidak hanya itu, Presiden Joko Widodo juga memperbaharui dan membenahi peta wilayah Indonesia serta memberikan nama "Laut Natuna Utara" yang diklaim Laut China Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun