Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Normalisasi Politik Dinasti

18 Februari 2024   11:04 Diperbarui: 18 Februari 2024   11:04 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh GR Stocks via Unsplash

Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 telah resmi digelar pada 14 Februari. 

Dari segala isu yang meluap di masa kampanye, yang paling mencolok adalah masuknya Gibran di bursa wakil Presiden sebagai produk dinasti.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 'dinasti' memiliki arti keturunan raja-raja yang memerintah. Istilah ini sering dipakai untuk menggambarkan sebuah kerajaan. Seperti di China misalnya, terdapat Dinasti Yuan (1271-1368 M), Dinasti Ming (1368-1644 M), dan Dinasti Qing (1644-1911 M).

Lantas, apakah politik dinasti itu normal dan patut dinormalisasi di negara Indonesia yang konon berlandaskan demokrasi?

Dinasti Era Soeharto


Praktik politik dinasti di Indonesia menguat pertama kali pada era Presiden Soeharto. Kala itu itu, presiden kedua Indonesia menempati puncak pimpinan selama lebih dari 6 periode alias 32 tahun. 

Selama kepemimpinannya, Soeharto telah mengangkat sang anak sulung, Siti Hardiyanti sebagai anggota MPR RI periode 1992-1998 dan Menteri Sosial pada tahun 1998. 

Anak kedua dan ketiga Soeharto, Hutomo Mandala dan Sigit Harjodujanto, memimpin PT Humpuss yang menangani bermacam usaha di bidang properti, kontruksi, transportasi, hingga produksi minyak tanah dan solar.

Juga ada PT Citra Lamtoro Gung dan PT Bimantara Citra yang masing-masing dipimpin oleh anak pertama dan keempat Soeharto,

Kekuasaan dan gurita bisnis Presiden Soeharto menimbulkan banyak celah korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini yang kemudian memicu gerakan reformasi 1998 dari para aktivis dan mahasiswa.

Dari kiri ke kanan: Ratu Atut, Yance, dan Obar Sobarna. Sumber: BBC.com, Tribun.com, dan Bandungraya.net, diolah kembali.
Dari kiri ke kanan: Ratu Atut, Yance, dan Obar Sobarna. Sumber: BBC.com, Tribun.com, dan Bandungraya.net, diolah kembali.

Dinasti di Perwakilan Daerah

Di tahun 2013, kasus korupsi dan dinasti Ratu Atut mencuat ke publik. Selama 6 tahun menjabat menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah telah melanggengkan langkah adik, suami, anak serta menantunya sebagai Walikota dan DPD-DRPD Banten.

Bahkan di daerah kecil seperti Indramayu, dinasti politik itu ada dan sudah berjalan 20 tahun. Adalah Yance, bupati Indramayu di tahun 2000 hingga 2010. Trah kepemimpinannya kemudian dilanjutkan istrinya, Anna Sophanah pada periode 2010–2020.

Lalu di Kabupaten Bandung, ada Obar Sobarna yang memimpin pada periode 2000–2010. Kemudian dilanjutkan menantunya, Dadang M. Nasser pada periode 2010–2020.

Dari kiri ke kanan: Agus Harimukti, Puan Maharani, dan Kaesang Pangarep. Sumber: Jpnn.com, Pwmu.co
Dari kiri ke kanan: Agus Harimukti, Puan Maharani, dan Kaesang Pangarep. Sumber: Jpnn.com, Pwmu.co

Dinasti Partai Politik

Maraknya politik dinasti sebenarnya bisa ditelusuri dari awal mula kaderisasi di partai politik. Sebagai sarana regenerasi kepemimpinan nasional, partai politik seharusnya mendukung dan memberikan ruang bagi para kadernya untuk berkembang. 

Pada kenyataannya, partai politik justru menjadi kiblat bagi dinasti politik itu sendiri.

Partai PDI Perjuangan yang dibentuk Presiden ke-5 Indonesia, Megawati Soekarnoputri, gencar membentuk kader terbaiknya yang tak lain adalah sang anak bungsu, Puan Maharani, untuk menjadi calon pemimpin masa depan.

Di tahun 2014-2019, Puan ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Kemudian di periode kedua yaitu 2019-2023, Puan didapuk sebagai Ketua DPR RI.

Kemudian Partai Demokrat yang diprakarsai Soesilo Bambang Yudhoyono alias Presiden ke-6, juga turut mempromosikan kader terbaik Demokrat, yakni si anak sulung, Agus Harimukti Yudhoyono (AHY).

Diketahui, AHY pernah mengikuti pemilihan Gubernur Jakarta bersama Sylviana di tahun 2017. Pada kontestasi pilpres, AHY pun terus disodorkan untuk menjadi calon wakil Presiden, meski akhirnya gagal.

Yang terbaru ada Kaesang Pangarep, putra Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, yang di hari kedua bergabungnya di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) langsung didapuk menjadi ketua umum.

Presiden Joko Widodo, Sumber: www.thecitizen.co.tz
Presiden Joko Widodo, Sumber: www.thecitizen.co.tz

Dinasti Era Jokowi

Sebagai penguasa Indonesia di 10 tahun terakhir, Jokowi disinyalir telah membentuk 'dinasti'nya sendiri.

Di tahun 2018, Anwar Usman, adik ipar Jokowi, terpilih sebagai ketua ke-6 Mahkamah Konstitusi hingga 2023. Jabatan ini berhasil diperpanjang Anwar pada periode 2023-2028. 

Di tahun 2020, anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming terpilih menjadi walikota Solo. Pemilihan ini menuai kontroversi 'melawan kotak kosong', karena sang lawan, Bagyo Wahyono datang dari jalur independen, sementara Gibran disokong 9 partai politik.

Pada tahun yang sama, Bobby Nasution juga terpilih menjadi walikota Medan setelah sebelumnya menikahi anak kedua Jokowi, Kahiyang Ayu di tahun 2017.

Di Oktober 2023, Kaesang Pangarep, anak ketiga Presiden Jokowi memutuskan terjun ke partai politik dan langsung menjadi ketua umum PSI.

Di Februari 2024, Gibran pun resmi melanggeng sebagai calon wakil Presiden Indonesia. Hal ini tentu saja, setelah sang paman MK, Anwar Usman, mengabulkan pengubahan persyaratan calon presiden dan wakil presiden.

Menghapus Normalisasi Politik Dinasti

Politik dinasti memang ramai terjadi, tapi apa itu menjadi alasan kita untuk menormalisasi?

Pernyataan ini sebenarnya datang dari salah satu teman yang mengatakan, "Sah-sah saja politik dinasti, toh itu sudah biasa terjadi. Sejak dulu, hingga sekarang di dunia pekerjaan."

Politik dinasti dan kuasa orang dalam, memang masih sangat kuat pengaruhnya di Indonesia. 

Terbukti dari level terendah seperti mendapat pekerjaan, pembuatan SIM, hingga mendapat jabatan strategis di DPR, Walikota, dan Wakil Presiden, membutuhkan perpanjangan tangan dinasti.

Bukan tanpa resiko, politik dinasti menimbulkan celah untuk melakukan korupsi dan nepotisme. Di kasus Presiden Soeharto dan Ratu Atut, KKN bahkan sudah terbukti terjadi.

Di sisi lain, orang layak dan kompeten semakin tersingkir untuk mendapat tempat di pemerintah. Mereka yang berupaya menjegal dinasti biasanya berakhir tak layak atau dihapus jejaknya seperti Munir.

Untuk itu butuh kerjasama dari masyarakat, pemimpin partai politik, serta pemangku kebijakan untuk membangun kembali Indonesia sebagai negara demokrasi. 

Pupuk lagi unsur pluralisme, tarik orang-orang kompeten dan biarkan mereka membangun negeri. Karena politik bukan bisnis keluarga, melainkan bisnis sebuah bangsa untuk membentuk peradaban.

"Bahaya terbesar adalah ketakutan dalam kepala kita.  Ketakutan yang disebarkan sistem yang ada kepada kita.  Ketakutan inilah rintangan terbesar dalam perjuangan." -Munir

. . .

Tutut Setyorinie,

18 Februari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun