"Itu memang lebih masuk di akal, bukan? Maksudku, bagaimana mungkin kita tinggal terbalik dan terus bergerak dan tidak jatuh."
Raden Soerjo diam lagi.
"Orang-orang memang lebih mudah percaya pada sesuatu yang dipercaya banyak orang. Mereka takut ditertawai, Jo. Tapi aku tidak."
Raden Soerjo beranjak pergi. Memilih menyerah pada hal-hal diluar nalar seekor kucing.
Namun sudah satu minggu Raden Soerjo tak kembali. Kau urung mencari, toh kucing memang hobi berkeliaran ketika musim kawin. Terlebih Raden Soerjo adalah seorang laki-laki dewasa. Maaf, sekucing laki-laki dewasa.
Kau mulai gelisah. Tidurmu tak lagi nyenyak karena setengah kasurmu kini kosong menganga.Â
Raden Soerjo biasa menggelung dekat tembok. Kau mengambil bagian pinggir dengan alasan: (1) kau tidak perlu repot ketika hendak ke kamar mandi, (2) kau tidak suka dijagai kucing.
Paginya kau terbangun tanpa semangat. Dengan mata setengah mengantuk, kau membuka gerendel kunci dan menemukan bulu putih mengelung di sana.
"Soerjo?" pekikmu kegirangan.
Raden Soerjo malas mengeong. Matanya tampak sayup, dan badannya menyusut. Seolah selama seminggu tidak ada yang memberinya makan.
Kau buru-buru menyiapkan potongan tongkol, lalu menuang air ke wadah minumnya. Kau usap bulunya yang menjadi lebih kasar dan... panas?