Mohon tunggu...
Yanuarita Puji Hastuti
Yanuarita Puji Hastuti Mohon Tunggu... -

Saya orang biasa yang ingin menulis hal-hal luar biasa dengan cara biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Ibu Itu Bernama Laila Istiana

20 Februari 2019   01:20 Diperbarui: 20 Februari 2019   01:30 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Tim Laila Istiana

"Assalamu'alaikum, Mbak Tutut. Saya Laila Istiana." 

Perempuan berusia sekitar 46 tahun di hadapanku memperkenalkan dirinya. Saya berpikir, buat apa lagi dia menyebut namanya. Wong justru saya yang mencarinya karena mendapat tugas mengikuti kegiatannya. 

Tidak perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri dan situasi. Mbak Nana, panggilan untuk Laila Istiana dari orang-orang terdekatnya, tidak peduli dengan kecanggunganku. 

Langsung saja anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional itu menembak dari jarak dekat, "Mbak Tutut asli mana?"

Sejujurnya, pertanyaan seperti itu dari siapa pun membuatku harus menyusun jawaban di otak untuk beberapa detik kemudian mengeluarkannya lewat mulut.

"Saya kelahiran Jakarta. Orang tua dari Jawa Tengah." Aku memang tidak berani mengaku sebagai suku Jawa karena tidak pandai berbicara dalam bahasa Jawa.

"Ngerti bahasa Jawa, kan?"

"Ya... kalau ngoko aja sih ngerti."

"Oh ya. Kita ngoko semua kok di sini."

Sebuah pernyataan yang melegakan. Artinya, kami semua sama. Tidak ada batasan strata. Dan aku diperkenankan nimbrung di obrolan mereka.

Perjalanan bersama Laila Istiana, meskipun tidak saling kenal sebelumnya, terasa menyenangkan. Waktu seperti terlalu cepat berlalu. Seperti emak-emak pada umumnya, Mbak Nana sangat peduli pada orang di sekitarnya.

"Udah maem belum? Tidur di mana? Kalau belum ada tempat, biar dicarikan di sekitar sini." Sungguh tidak enak hati mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu. Khas emak-emak. Khas orang Jawa.

"Nih, ini dibawa aja," ujarnya ketika melihat kotak snack masih tersisa beberapa.

Lain waktu, "Ini ambil." Ia berkata begitu sambil menyorongkan piring besar berisi tumpukan ayam goreng ke depan dadaku. Duh gusti, jadi batal mengambil nasi, padahal segunung urap di atas meja sungguh menggoda. Dimakan bersama nasi hangat pasti maknyus!

Hobinya mencicipi jajanan rakyat. Di sebuah sekolah dasar yang kami kunjungi, Laila Istiana mencicipi jajanan anak-anak di kantin bertiang dan beratap bambu. Cara penyajian dan lingkungan yang menurutku kurang sip membuatku enggan mengikuti tingkahnya hari itu. Namun, ia dengan santai dan lahapnya menghabiskan satu porsi jajanan entah apa namanya.

Di tempat lain, Laila pun melahap jajanan yang menurut penglihatanku gak karu-karuan bentuknya. "Enak lho ini," katanya mantap.

Aku hanya berharap Mbak Nana diberi kekuatan menghadapi bakteri atau virus yang mungkin saja hinggap di tubuhnya.

Nada suaranya galak kalau bicara prinsip dan kondisi negeri. Kalau bicara tak mau mengalah. Tetapi ia juga bisa menyerah saat menyadari argumennya tidak cukup baik.

Seperti seharusnya seorang muslim, Laila Istiana selalu menebarkan salam di mana pun ia berada. Sikapnya selalu hangat terhadap orang kecil. Sifat amanah ia tunjukkan saat tidak sedikit pun ia memotong dana bantuan yang disalurkannya.

Ia royal pada siapa pun. Namun, jangan ditanya kalau soal money politic. "Saya tidak mau money politic. Saya tidak akan mengeluarkan uang untuk itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun