Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Pesan dari Kucing Pagi Ini

13 April 2016   08:24 Diperbarui: 13 April 2016   12:11 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Fine Art America"][/caption]Dua ekor kucing datang bertamu ke dapur saya pagi ini. Dengan langkah mengendap mereka berjalan beriringan melewati saya yang sedang mencari ide agar menunggu air yang penuh di bak mandi tidak menjadi pergulatan melawan jemu. Mereka berdua berpikir saya tidak melihat langkah mengendap itu. Dalam hati, “masuk saja kalian, semoga ketemu tikus di belakang sana.”

Ketika saya ke kamar mandi, mereka sedang duduk dengan mengawasi kesana sini. Sungguh mengawasi yang siaga sekali. Hihihi, tak ada tikus yang berlari sepagi ini, coi. Dan benar saja, tak berlama-lama, mereka berdua lalu menuju halaman depan. Mungkin dalam hatinya, pagi ini sepi. Kita harus mencari makan ke rumah lain. Mungkin juga salah satunya berkata, pantas saja dia membiarkan kita masuk. Wakwakwak.

Saya kadang-kadang memang melarang mereka. Bukan karena tidak suka berbagi ruang. Tapi kadang mereka kurang ajar. Pernah salah satunya saya kepruk kepalanya, kesal. Bagaimana tidak, pipis sembarang. Padahal sudah saya tunjukan dimana letak kamar mandi. Sekali waktu, pernah juga salah satu terkunci sepanjang hari karena keasyikan mengawasi tikus. Ia tidak tahu saya sudah mengunci pintu dari luar. Ketika saya pulang dan membuka pintu, ia berlari seperti napi yang bebas. Hahaha, kapok gak?

Selain dua kucing yang lahir dari ibu yang sama ini, ada juga rombongan ayam. Kepeda mereka ini saya juga sering ketawa sendiri.
Setiap menunggu air penuh di bak mandi, saya selalu membuka pintu belakang. Pasti saja ada yang mengendap masuk dan mencoba peruntungannya, siapa tahu si Aji menyisakan nasi di piring kotor bekas makan semalam. Kadang-kadang memang saya membagikan sisa nasi tapi lebih sering endapan hitam kopi di dasar gelas. Saya memang tidak gemar memasak kecuali sudah terdesak, hag hag hag.

Seperti pagi ini, saya menyisakan endapan kopi di gelas. Lalu datang seekor ayam betina, mengendap, dan memasukan paruhnya ke dalam gelas itu. mungkin karena masih tak percaya ia terus saja mematuk hingga kesal dan pergi. Tak lama datang lagi betina yang lain dan melakukan hal yang sama: mematuk lalu pergi. Dari ruang depan, saya memandang kelakuan mereka. Hihihi, sori coi, tanggal belum lewat 20, maap yaa.

Kita tahu Kucing dan ayam hidup dengan instingnya. Demikian juga tikus dan kebanyakan binatang lain. Insting yang membuat mereka terikat ke dalam rantai makanan yang bila salah satunya terganggu maka keseimbangan menjadi taruhannya. So, jangan pernah mengawinkan kucing dengan ayam!


Tapi mungkin bukan perkara rantai makanan, keseimbangan ekosistem dan intervensi manusia yang salah kaprah kemudian menjadi bencana. Yang menarik pagi ini adalah pesan sederhana yang dikirim hewan-hewan yang sudah didomestikasi kebudayan manusia ini manakala hilir mudik menuruti instingnya.

Pesan yang saya lihat dari mereka adalah kepercayaan pada insting menuntun perilaku kepada kebutuhan akan bukti. Insting memang membuat mereka terikat pada kaidah hukum alam karena itu juga tidak membutuhkan tafsir yang memungkinkan ada jarak. Karena itu juga—dalam ketiadaan tafsir—insting akan membawa mereka pada pengulangan perilaku hingga memperoleh cukup bukti bahwa perilakunya sudah tidak berarti. Ya seperti dua kucing tadi itu: masuk tanpa selamat pagi dan pergi tanpa bilang permisi. Terlaluuuu. 

Dari kasus seperti ini juga rasanya teori sosial membedakan tindakan (action) dan perilaku (behavior). Yang pertama tidak mudah ditebak, yang kedua cenderung berulang dan “bisa diukur”. Yang kedua melahirkan pendekatan perilaku sosial dimana cukup memiliki jejak pengaruh lewat teori stimulus-respon yang akar-akar idenya ada dalam ujicoba anjing Pavlov.

Pada perilaku kucing dan ayam yang "datang untuk mengumpulkan cukup bukti", menjadi yakin dan kemudian pergi, saya jadi tersadari jika sifat instingtual dalam diri manusia telah mengalami modifikasi sedemikian canggih. Kecanggihan itu tentulah karena daya pikir (rasio) yang membuat manusia membangun metode mengumpulkan bukti, sistem penalaran dan menciptakan keyakinan untuk mengambil keputusan. Begitulah sebabnya kesimpulan tidak ditentukan di depan, ia mensyaratkan cukup penalaran akan bukti-bukti bukan?

Metode manusia mengumpulkan bukti dan syarat penalaran untuk menjumpai kebenaran pun tidak seragam. Dalam keanekaragaman ini kita menjadi memiliki banyak opsi sekaligus diminta berhati-hati. Menjaga sikap skeptis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun