Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kepada 489 Tahun Usiamu

22 Juni 2016   23:50 Diperbarui: 23 Juni 2016   01:26 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di terminal Kampung Melayu, saya pernah ditertawakan Jakarta.

Di bawah hiruk pikuk malam, seharusnya saya menyebrangi fly over dan duduk menunggu dalam angkot sesak yang melintas di depan stasiun Tebet, mencari ojek, lalu kembali ke Bukit Duri yang sesak dan gerah. Karena kebingungan, kaki terus berjalan berkawan kecemasan hingga menumpang angkot yang membawa tubuh lelah ke tujuan Pasar Senen. Padahal 15 menit yang lalu, saya baru saja tiba dari sana.

Di dalam Metromini, saya juga pernah ditertawakan Jakarta.

Di bangku-bangku berkarat yang sepi, seorang satpam membenamkan dirinya ke dalam smartphonenya. Sedang saya duduk sambil menyebut segala macam doa keselamatan. Supir dan kondektur sedang beradu waktu dengan jalan sesak. Di sebelang, metromini yang lain, juga sedang beradu waktu. Bunyi knalpot meraung-raung seperti memanggil malaikat maut. Tetiba keduanya berhenti, dua supir dan dua kondektur telah bersiaga dengan kunci inggris. Sebentar lagi kemarahan akan meledak karena berebut penumpang. Saya resah, hendak berteriak dan melerai, tapi sebuah suara berkata pelan: “biar saja, tak usah cari masalah.” Lalu satpam itu terbenam lagi ke dalam smartphone-nya.  

Di trotoar, Tebet Barat, sekali lagi, saya ditertawakan Jakarta.

Keluar dari halaman sebuah masjid, saya disambut tangan-tangan yang meminta uang recehan. Dua orang ibu dengan kerudung dan wajah yang dibuatnya memelas, “sedekahnya Mas.” Saya mengambil dua ribu rupiah, selembar saya serahkan. Saya tidak mencari pahala. Hanya tidak tahan melihat wajah memelas di depan masjid. Lalu ada suara yang bilang, “jangan memberi uang, sebentar lagi kau akan dikepung kawanan yang sama.” Benar adanya, tak membutuhkan hitungan menit, tangan-tangan dengan wajah dibuat memelas memohon yang sama: sedekahnya Mas.

Di Ambasador, mall, saya masih ditertawakan Jakarta.

Seorang kawan yang keasyikan mencari celana panjangnya meninggalkan saya di depan sebuah tangga berjalan. Ketika dia pergi, saya sedang sibuk melihat betis putih hilir mudik dengan dandanannya sendiri-sendiri. Seolah saja lantai mall adalah panggung peragaan tubuh. Karena lelah berdiri dan tiba-tiba merasa jenuh, saya berpikir untuk mengajak kawan itu segera saja pulang. Tapi dia sudah berada entah dimana sementara saya tidak berani bertanya dimana pintu keluar terdekat.

Ampun Jakarta!

Jakarta kini 489 tahun sudah umur sejarahnya. Walau berkali-kali ditertawakan Jakarta, saya tidak benci dan tidak rindu. Dan karena itu juga, saya tidak memelihara cinta padanya.

Kepada 489 tahunmu Jakarta, saya ingin membaca sedikit potongan puisi Rendra, Doa di Jakarta:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun