Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Bagaimana "Berlin" Sukses Menjaga Marwah "La Casa de Papel"?

14 Januari 2024   16:14 Diperbarui: 18 Januari 2024   19:17 1644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Series Berlin di Netflix. Sumber: Netflix/Tamara Arranz via KOMPAS.com

Menuju pergantian tahun 2023, tidak banyak hal yang patut saya nantikan. Salah satunya adalah tayangnya Berlin di Netflix.  

Kisah yang merupakan spin-off dari series populer La casa de Papel (: Rumah Kertas) atau Money Heist ini memang hanya berisi 8 episode saja. Namun jalinan kisahnya berhasil mengisi sedikit kerinduan pada drama kriminal yang dikerjakan dengan kerumitan dan kedalaman yang terjaga levelnya. 

Tentu saja, usaha menjaga standar yang tinggi seperti itu bukanlah pekerjaan gampang. Apalagi mengingat series induknya, La Casa de papel yang tayang semenjak 2017 hingga 2021 meninggalkan kesan, barisan pemuja berikut penghargaan yang tidak sedikit. 

Saya tidak akan buang-buang waktu menuliskannya lagi satu per satu daftar penghargaan itu, maka silakan dibaca saja di "Sinopsis Money Heist Season 1-5 dan Daftar Penghargaan yang Diraih". Karena itu, Berlin yang dimunculkan dalam catatan ringkas ini masihlah ekspresi dari kekaguman yang sama. 

So, mari selesaikan membaca untuk menyimak alasan mengapa Berlin cukup berhasil menjaga marwah La casa de Papel; series yang justru tidak sukses di negerinya sendiri sebelum dibeli Netflix dan mendapatkan atensi global yang pantas.


Pertama, sebagai penokohan, Berlin yang masih diperankan Pedro Alonso tetaplah pertunjukan dari sosok yang nyentrik. 

Yang paling menonjol adalah dalam dirinya hidup insting kriminal dengan pemikiran filosofis yang kuat atau sebaliknya, filosof yang kriminal. Sebab itulah, sebagai pengejawantahannya, jenis kriminalitas yang diajukannya bukanlah level yang gampangan. 

Dalam filsafatnya tentang perampokan, misalnya, Berlin berfatwa begini,"Perampokan bukan sekadar rencana, tapi silabus."

Nah, jika Silabus adalah suatu perangkat rencana dan pengaturan pelaksanaan pembelajaran serta penilaian yang disusun secara sistematis dan memuat komponen-komponen yang saling berkaitan untuk kemudian mencapai penguasaan kompetensi dasar, bayangkanlah level perampokan macam apa yang menjadi ukuran berhasil bagi seorang Berlin?

Dengan kata lain, perampokan yang berhasil adalah bukan saja menyasar dampak yang besar namun juga dengan pengaturan siasat yang berbasis teknologi beserta exit strategy yang berlapis. 

Berlin dan Camille dalam series Berlin di Netflix | Dok Netflix via  idntimes.com
Berlin dan Camille dalam series Berlin di Netflix | Dok Netflix via  idntimes.com

Kedua, Berlin tetap menjaga ide perampokan yang menciptakan kegegeran nasional, kalau bukan regional. Tanpa eskelasi ini, kriminalitas hanyalah perkara penjahat kere dan buta huruf. 

Paris adalah lokasinya dengan obyek perhiasan milik para keluarga kaya paling berpengaruh di Eropa. Ada gagasan terhadap lapisan aristokrasi yang munafik di konteks ini, namun tak cukup banyak dielaborasi. Intinya aristokrasi adalah warisan dari sistem yang sakit, sebagaimana otoritarianisme. 

Perhiasan itu ada di sebuah rumah lelang berpengaruh yang diotorisasi seorang pria yang hidupnya nyaris tanpa drama. Sedang sang istri adalah perempuan dengan hasrat yang masih meluap-luap. Istri itu bernama Camille. 

Kamu boleh membayangkan daya pukau sosok ini seperti "Camelia" dalam lirik lagu Rhoma Irama.

Camelia, Camelia
Camelia, Camelia
Hidupmu, hidupku
Matimu juga kematianku
Ho-oh, sungguh takkan kubiarkan
Yang berani menjamahmu
'Kan kupertaruhkan jiwa ragaku


Ketiga, kisah Berlin, sebagai mana induk gagasannya, tetaplah cerita perampokan yang terorganisir, disiplin pada perencanaan yang logis.

Perampokan tersebut melibatkan rencana yang detil, sebuah maket (rumah kertas), diskusi terfokuskan dan pembagian peran spesifik serta mobilisasi tim kecil yang terukur. 

Terdiri dari 6 tim, 4 orangnya adalah anak muda dengan keahlian. Serta yang tak boleh dihilangkan, setiap mereka memiliki riwayat luka batin yang tidak sederhana. 

Ada Keila, perempuan ahli IT dengan kehidupan asmara yang culun. Damin, profesor filantropi, jenius perencana kepercayaan Berlin yang istrinya berselingkuh. Lalu Cameron, perempuan nekad dengan trauma patah hati yang membahayakan orang lain. 

Kemudian Roi, dengan masa kecil penuh siksaan ayahnya namun keahlian memfungsikan apa saja yang bergerak. Terakhi, Bruce, pemuda yang memiliki kemampuan survive di alam liar.

Walau masih menyerupai ide perampokan dalam Italian Job (2003), perampokan rumah lelang perhiasan dengan menggali terowongan, menjebol brankas, memanipulasi kamera pengawas dan menyibukan polisi trans-nasional tetaplah sajian yang menegangkan.  

Keempat, romantisme yang tumbuh mengikuti pengembangan karakter dan kedalaman hubungan. 

Jika pada La Casa de Papel, romantisme itu melibatkan dua otak yang berseberangan peran, Profesor dan Komandan Polisi, misalnya, maka Berlin menghindari ide yang sejenis.

Isabel, yang lugu, katanya perawan, namun ahli meretas ini, pelan-pelan jatuh hati kepada Bruce yang urakan, nyaris tanpa pendidikan selain instingnya. Momen ketika Bruce menyelamatkan nyawa Isabel sesudah digigit ular berbisa dalam masa pelarian adalah salah satu yang menyentuh.

Dan, tentu saja, bagaimana usaha Berlin merebut hati Camille. Sungguh-sungguh drama yang tidak sepele. 

Berlin yang menyangka Camille bisa diluluhkan dengan mengulang resep "Anjing Pavlov" dalam teori Stimulus-Respon ternyata menderita sesat pikir pada keterpukauan perdana. Sedang Camille yang polos memang (sempat) menyangka Berlin adalah cinta yang membebaskan hasratnya dari milyaran laki-laki di muka bumi. 

Sedikit konservatisme (berselingkuh adalah kesalahan yang berat) membuat Camille berada dalam kebimbangan moral, menjadikan Berlin kesal, dan penonton gemas-gemas pasar bebas.

Apa yang dilakukan Camille dan bagaimana Berlin merespon itu dengan siasat seorang penakluk yang tergila-gila adalah drama pemanis yang cukup mulus dikerjakan di sepanjang 8 episode. 

Kelima, keterjagaan akan elemen ketegangan, kejutan dan sedikit komedi. Kejutan adalah unsur kunci yang menjaga drama kriminal ini memiliki pemuja yang mengglobal selama 5 musim. Berlin pun sama, walau di situs IMdb, ia mendapat rating 7,1.

Ketegangan dan kejutan itu terutama terjadi ketika posisi para perampok berada di titik nadir namun selalu menemukan cara membalikkan keadaan. Pada Berlin, ketegangan dan kejutan ini terlihat pada scene pelarian yang dilakukan secara terpisah dalam 3 grup.

Semua siasat itu tampak masuk akal, dan tentu saja, dihadapkan dengan kelalaian aparat (kalau bukan ketololan) yang berulang--ini adalah elemen paling buruk yang digarap Berlin.   

Keenam, struktur atau materi dialog yang bermutu. Ini adalah elemen pokok sejak La Casa de Papel yang terjaga hingga Berlin. 

Dialog-dialog yang terjadi tidak sebatas menyampaikan cinta, kesedihan dan patah hari, misalnya. Namun yang paling penting adalah refleksi terhadap kesedihan dan patah hati itu.

Salah satunya adalah dialog Berlin dan Damian perihal cinta di episode pertama, sebelum Camille hadir dan membalikkan refleksi Berlin. Berlin sejatinya tengah tiba pada titik tidak percaya pada cinta sejati, mengingat tiga kali perceraian yang dialami. Berseberangan nasib dengan Damian yang setia. 

Bagi Berlin, "Cinta sejati(mu) hanya masuk akal di awal, ketika segalanya terasa indah. Saat setiap lagu mengingatkanmu padanya. Saat kau menceritakan segala hal selama makan malam dan kau tak bisa berhenti tersenyum."

Damian menyanggah lantas berkata, "Tidak, cinta datang tepat setelah itu. Saat mantranya berakhir. Saat bisa duduk diam selama makan malam karena kau merasa damai. Saling membaca pikiran dengan satu tatapan." 

Dialog refleksif ini ditutup dengan pernyataan Berlin, "Aku membawa kita ke Paris agar bisa menikmati kedamaian melajang."

Sungguh tidak ada yang lebih dahsyat dari patah hati yang berfilsafat.

Penutup. Spin-off Berlin memang pada akhirnya adalah ending yang dimenangkan kejahatan. Juga di sepanjang kisah, tidak banyak tragedi yang terjadi, dan, sepertinya memang tidak diniatkan untuk menggarap tema semacam itu.

Saya kira, Berlin tetap memuaskan penantian dengan cara menjaga standar yang sudah ditetapkan La Casa de Papel. 

Kurang lebihnya begitu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun