Ilo, sebut saja begitu namanya. Ilo adalah nama yang dipilihnya sendiri sebagai subyek sentral dalam cerita ini.
Ilo sedang dalam satu fase dari hidupnya. Dia memintaku mendengar ceritanya dan menuliskan demi kelak dikenang-kenang dirinya sendiri. "Aku ingin melihat bagaimana aku mengalami patah dan tumbuh dalam sejarahku sendiri." Itulah kehendak Ilo.Â
Tapi kita tidak usah berlarut-larut dengan kalimat sok bijak Ilo. Hidupnya belum lagi setengah abad. Sebaliknya, yang harus diperhatikan adalah usahanya melawan ketergantungan kepada ilusi.Â
Lebih persisnya adalah ketergantungan akan rasa kenyang (hanya karena sesudah memakan) nasi.Â
Coki Pardede, komika yang "tengil tapi tajam" itu, pernah bilang yang berat dari narkoba adalah bukan sabu-sabunya. Tapi perasaan rindu akan kenikmatan yang ditimbulkannya. Kira-kira begitu premisnya.Â
Sekali lagi, melawan rindu karena rasa yang terlanjur ada itulah masalahnya!
Dalam batas tertentu, nasi atau rokok atau junk food atau nonton drama korea bisa bekerja selayaknya narkotika. Sering disebut sejenis kecanduan. Bedanya, nasi bisa disubstitusi, tapi junk food. Atau bagaimana dengan merokok?Â
Menaikan cukai hanya akan membuat perokok merasa merokok adalah kesenangan yang khusus. Karena mahal dan menuntut kerja keras--siapa yang tahu? Sudah sejak lama penyair Taufik Ismail menyebut rokok sebagai TUHAN 9 CENTI!
Karena itu, aku mencatat dengan seksama perjuangan Ilo.
***