Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tragedi Kanjuruhan

3 Oktober 2022   09:40 Diperbarui: 3 Oktober 2022   13:39 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tragedi Kanjuruhan | Ilustrasi: Kompasiana

***

Stadion Mandala, kota Jayapura. 

Tidak besar apalagi megah, jika melihatnya dari ukuran seperti Gelora Bung Karno, Jakabaring, Jatidiri, atau stadion top lainnya. Mandala hanya stadion kecil dengan kursi duduk yang tidak penuh mengelilingi lapangan. Daya tampungnya pun tak lebih dari 15.000 kursi. 

Letaknya yang berada di wilayah perbukitan dan pinggiran laut seolah-olah mencerminkan spirit yang bergemuruh. Spirit yang siap siaga menghadapi badai jenis apapun. Mungkin karena itu juga, setiap melewatinya, perasaan yang penuh penghormatan selalu bergetar. 

Persipura bermarkas di sana. Dan setiap Persipura bermain home, Jayapura adalah kota yang mendadak mati suri.

Saya beberapa kali pergi ke Mandala dan tenggelam bersama sorak-sorai Persipuramania yang lain. Pertama kali ditraktir kakak sepupu yang sepanjang pertandingan justru tertidur di balik kacamata hitamnya. Kala itu, Persipura masih diperkuat oleh nama-nama seperti Izack Fatari, Ritham Madubun, Chris Leo Yarangga, sekadar menyebut tiga yang cukup tenar.

Tapi di antara nama top itu, ada dua nama dari sebuah kota kecil, Serui. Ada Robert Lestuni dan Yosep Rumaikewi. Keduanya adalah idola anak-anak kecil di Serui, seperti saya. Perseru memang selalu menjadi cinta pertama.

Ternyata nama-nama ini bukan sekadar mengisir masa yang lewat. Mereka mewakili era baru Persipura sesudah terpuruk di liga perserikatan sejak tahun 1989. Indosport merangkum kisah kebangkitan ini melalui kesaksian Fernando Fairyo.

Kaka Nando bercerita jika kebangkitan itu dimulai oleh sekumpulan pemuda jebolan diklat PPLP. Mereka adalah wakil Papua di PON 1993 yang meraih emas di tengah hari terik saat mengalahkan Tim PON Aceh. Kami merayakan kegemilangan itu di sekolah.

Alumni PPLP yang kemudian dikenang sebagai "Class of 86" ini jugalah yang mengembalikan Persipura ke kasta tertinggi. Hanya berselang tiga bulan dari juara sepakbola di Pekan Olahraga Nasional. 

"Materi pemain kita saat itu sama dengan saat kita berlaga di PON XIII. Cuma ada penambahan pemain pas di divisi utama. Jadi September 1993 kita juara PON dan Desember kemudian di tahun yang sama kita membawa Persipura kembali ke divisi utama," kenang kaka Nando sebagaimana dimuat Indosport.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun