Tapi mari kita kembali ke rencana artikel ini memeriksa kerelawanan dalam politik dari, pertama, arah yang negatif.Â
Secara normatif, bagaimanakah kerelawan dibutuhkan dalam politik yang justru partisan, sarat intrik, berbiaya tinggi dan, sebab itu juga, menjadi perebutan yang elitis?
Tentu saja ada banyak sekali jawaban terhadap konteks yang seperti ini. Kita bisa mulai dengan asumsi umum yang normatif: kerelawanan dibutuhkan karena gerak mesin partai yang terbatas, lamban dan hirarkis.
Dengan adanya aksi kerelawanan dalam bentuk kelompok-kelompok yang dideklarasikan di luar struktur gerak partai (termasuk sayap-sayapnya) maka proses penggalangan dukungan dan perolehan suara (atau menggeser popularitas menjadi elektabilitas) bisa berlangsung lebih maksimal.
Relawan lebih sering terikat kepada memenangkan figur, alih-alih memperjuangkan partai yang jelas-jelas tersandera pada gaya kepemimpinan dengan dosis feodal yang berusaha disamar-samarkan.Â
Sebab itu, kelompok relawan mungkin bisa memainkan posisi tawar tertentu walau tidak akan pernah benar-benar bisa berdiri sebagai pemilik hak veto terhadap keputusan partai.
Maksud saya, sesakti-saktinya kelompok relawan mendorong figur tertentu dengan rasionalisasi apapun, mereka tetap harus mencapai titik temu tertentu dengan kepentingan praktik dari partai berkuasa. Jika gagal, aksi kerelawanannya hanya akan berhenti seperti pendukung Sri Mulyani.
Karena itu, sampai saat ini, kelompok relawan tidak akan pernah menciptakan alternatif terhadap kekuasaan. Limitasi mereka sudah dibentuk sejak mereka dideklarasikan: hanya pada mesin memenangkan figur.
Jadi, jika kita bertanya, apa kontribusi politik relawan vis-a-vis cara kerja kekuasaan yang "segelintir demi segelintir", menurut Anda apa?Â
Tidakkah bakalan mengulang nasib dari suara keras yang perlahan-lahan menjadi gagap, sumbang lalu lenyap kemudian muncul lagi di musim pendaftaran partai politik?