Tut.tut.tut. Telpon keburu dimatikan.
Celakanya, hingga kumandang adzan subuh dilantunkan, Dklis masih saja terang benderang. Di batas tipis kesiapsiagaan dan penyiksaan tubuh, Dkils paham di zaman menteri-menteri berlomba menjaja diri, Ai adalah alasan membuatnya selalu berjuang berada di level terbaik. Â Â
Maka di pagi yang masih lengang. Langit digerayangi gerimis tipis-tipis. Bermodal vespa butut milik bapaknya Yanto, Dkils melaju lambat menuju gang sebelah. Menjemput Aryati, mawar kecil yang tengah mekar di taman hatinya.
"Nanti sebelum nyampe kantor, kita sarapan dulu Kils."
"Siap, Ai."
Sepanjang perjalanan, Dklis hanya punya satu soundtrack. What a Wonderful World-nya Louis Amstrong.
"Kils.."
"Ya Ai..."
"Kalo Ai seumpama jalan, Kils jadi apanya dong?"
"Walikotanyalah," sambut Dkils cepat. "Kok walikota, bukan jadi vespanya gitu?" protes Ai selayaknya manja-manja kecoa.
"Kalo walikota, aku bisa menganggarkan dana membangun jalan yang lurus seperti hatimu, Ai."