Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Jatuh Cinta Tak Membuatmu Lebih Awas dari Keledai!

25 November 2021   08:23 Diperbarui: 25 November 2021   15:47 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja adalah lansekap yang abadi bagi romantika | dok.pribai

Dkils sedang sumringah tak tentu arah. Hatinya berbunga-bunga, senang sekali bersenandung tak sadar. Tinggal dibubuhi sedikit tarian, jadilah hidupnya seturut drama Bollywood.

Ternyata hidup di lingkungan gang yang sesak dengan masa lalu perlintasan sapi masa kolonial tak menjamin daya pesona turut mengecil bersamanya. Pesona seorang Dkils masih berwatak trans-gang walau belum layak trans-televisi. Karena itu belum berdaya dorong trans-nasional. 

Aryati, demikian nama perempuan itu. Ia sedang mengirim sinyal yang kuat dan intens. Saban hari saling menanyakan kabar. Memberi pesan bahwa kepedulian ini tulus dan timbal balik. Tak peduli andai saat itu pilpres dilaksanakan-bodo amatlah siapa yang menang! 

Yang makin pasti, jatuh cinta mereka harus lebih tabah dari bendera negara kesatuan di depan perayaan World Cup. 

Dkils yakin bahwa bendera nasional itu tidak pernah akan berkibar daftar negara-negara yang berjuang lolos dari penyisihan grup. Apalagi sampai tanding di putaran final, mimpi yang jauh lebih mustahil diwujudkan dibanding membersihkan generasi politik yang kleptokratik dan narsis. 

"Ini kalau kita ukur dari skala kemustahilan, ya." Katanya pada Andi pada suatu saat. "Keduanya sama mustahil tapi yang pertama lebih mustahil bin mustahil bin mustahilnya lagi."

Jika seperti itu, sesungguhnya mustahil adalah generasi ke berapa dari garis keturunan patriakal yang mana? 

Lantas, apa perbedaan garis mustahil di sini dan di negeri seberang? Apa seperti sejarah sapiens, mereka pada mulanya mewakili satu pusat yang menyebar atau sedari awal sudah eksis dalam sebaran yang kemudian ber-evolusi? 

Makanya Dkils her(m)an luar biasa, mengapa aki-aki bernama Prop Pepeb masih saja membahas timnas setiap kali ada acara selamatan. Yang jelas, Aryati membuat kegilaannya berpindah wadah. 

Dkils mendadak tidak lagi gemar membahas hal-hal berat. Sebagaimana suatu hari ketika bersama 3 sahabatnya yang selalu memiliki versi-versi berbeda tentang kebenaran kecil di balik sebuah karya sinematik. 

Manakala mereka mendiskusikan akhir sejarah dari James Bond di Layaknya "No Time to Die", Kesedihan Semestinya Tak Bertele-tele. 

***

"Kils, besok bisa dong ngantar Ai ke kantor."

"Siap, Ai. Kapanpun, kemanapun."

 Ai tersipu-sipu di balik gawai. "Kayak agen pengiriman saja, ah. Kils, udah makan?"

"Udah, tapi masih lapar, Ai."

"Lhoo? Kok bisa?"

"Masalahnya setiap makan, kepikiran kamu terus. Makanya lapar melulu."

Parah. Nama doang Dkils, imajinasi masih sekasta masyarakat berburu dan meramu. Tapi bukankah pada hati yang bercabe-cabe, jatuh cinta membuat semua hal tampak tai ayam belaka? Bisa jadi pupuk yang menyuburkan pertumbuhan, maksudnya begitu. 

"Sampai ketemu besok, Kils."

"Iya, Ai lop..."

Tut.tut.tut. Telpon keburu dimatikan.

Celakanya, hingga kumandang adzan subuh dilantunkan, Dklis masih saja terang benderang. Di batas tipis kesiapsiagaan dan penyiksaan tubuh, Dkils paham di zaman menteri-menteri berlomba menjaja diri, Ai adalah alasan membuatnya selalu berjuang berada di level terbaik.   

Maka di pagi yang masih lengang. Langit digerayangi gerimis tipis-tipis. Bermodal vespa butut milik bapaknya Yanto, Dkils melaju lambat menuju gang sebelah. Menjemput Aryati, mawar kecil yang tengah mekar di taman hatinya.

"Nanti sebelum nyampe kantor, kita sarapan dulu Kils."

"Siap, Ai."

Sepanjang perjalanan, Dklis hanya punya satu soundtrack. What a Wonderful World-nya Louis Amstrong.


"Kils.."

"Ya Ai..."

"Kalo Ai seumpama jalan, Kils jadi apanya dong?"

"Walikotanyalah," sambut Dkils cepat. "Kok walikota, bukan jadi vespanya gitu?" protes Ai selayaknya manja-manja kecoa.

"Kalo walikota, aku bisa menganggarkan dana membangun jalan yang lurus seperti hatimu, Ai."

"Ahai." Aryati terkekeh-kekeh masam. "Bisa ae baliho bekas pilwako." Gantian Dkils yang terkekeh. 

Absurd juga dua makhluk ini, tapi apa yang tak dilakukan jatuh cinta. 

"Kils, nanti sesudah perempatan, belok ke kiri ya. Kita sarapan di warung neneknya Yanto saja."

Waduh. "Yakin di situ, Ai?"

"Emang kenapa, Kils? Gak enak ya?"

Dkils belum bebas trauma. Sesudah insiden menghina harga diri di Bersatu, Bangkit dan Preet!, dirinya melakukan investigasi kecil. Follow the Money. Di ujung kekacauannya karena mencret, wajah neneknya Yanto tersenyum bengis. Warung nenek Yantolah sang penyedia nasi kotak di acara selamatan.

"Kils gak suka makan di situ?"

"Gak, gak. Suka kok Ai." Tidakah cinta menghantarkan dua insan pada kecocokan? Masa iya aku menolak sarapan di situ? Batin Dkils disertai sugesti diri agar selalu berprasangka baik kepada siapapun. Lagi pula, di dompet cuma tersedia dua lembar lima puluh ribuan. 

30 menit di muka, mereka kemudian melaju lambat ke tujuan. Semuanya tampak normal dan sepertinya hari akan baik-baik saja. Berprasangka baiklah selalu, monolog Dkils sesudah berbalik arah menuju rumahnya. 

"And I think to myself. What a wonderful world," senandungnya lembut.

15 menit berlalu. 10 menit. Tapi...

Serupa teror, intelijen bisa menduga ada serangan, tapi bagaimana itu terjadi secara persis adalah kerahasiaan yang pejal. Demikian yang terjadi pada Dkils, yang sedang jatuh cinta, yang sedang ter-Louis Amstrongkan. Gemuruh kecil menggerogoti perutnya. 

Wajah nenek Yanto kembali menebar senyum kemenangan. Kemarin nasi kotak, pagi ini sarapan pagi bersama kekasih. Apakah si nenek memelihara sentimen kepada pikiran-pikiran politiknya yang seringkali berseberangan dengan cucunya?

Preet. Maaaak, celaka aku! Yanto ingin berteriak tapi kata-kata terlanjur menyibukan diri dengan kepanikan yang senyap. Ada indomaret 250 meter di muka. Belok kanan. 

"Dik, saya bisa pinjam WC-nya?"

"Ngisi buku tamu dulu, Bang," jawab adik manis berkepang dua di balik mesin kasir. "Maksudnya gimana?"

"Biar kalau dibawa pulang, kami tau nyari WC-nya kemana Bang. Hihihi."

"Bisa ae bungkus Kinder Joy. Sudah diujung nih," serapah Dkils tertahan. 

"Apanya yang diujung? Aih, baru juga buku tamu, sudah diujung aja abang ini." Balas si adik genit-genit kodok sawah. 

Dkils bergerak cepat ke lorong yang menyambungkan WC dan gudang barang. Sebuah pintu tertutup rapat. Ada seorang karyawati lain yang sedang berdiri di sana. "Masih ada orang, Bang."

Alamaak. Mati aku!

"Sudah lama?"

"Udah sih, bang."

"Diketuk aja," suruh Dkils.

"Ketuk aja sendiri. Sudah numpang, nyuruh-nyuruh pula. Bapakmu kolonial!" Karyawati itu berlalu dengan wajah judes. Barangkali semalam cintanya kandas.  

Preet. Masih angin, belum bersama serakan isinya. Dklis mulai berubah pucat. Hilang sudah jejak sumringah sejak kemarin. 

Tak ada wajah Aryati di saat begini. Mencret memang meluluhlantakan semua yang indah dan bertahta di pikiran sepanjang kemarin. Yang membuatnya terpisah dari kantuk.

Waduh, belum keluar juga. Siapa sih? "Haloo." Dkils memberi isyarat ada yang ngantri.

Dari dalam, bahkan suara air cebokan tak terdengar. Senyap. Senyap-senyap mengerikan bagi Dkils. Preet. Serangan kesekian, tapi masih angin kosong. Aduh. Keringat dingin mulai menjilati tengkuknya. 

Dklis mulai kalap. Kakinya hendak melabrak pintu dari alumunium tipis. Tapi terlanjur terbuka. 

Seorang gadis cilik, mungkin baru kelas 1 SMP keluar dengan wajah polos. Tak ada jejak baru saja melepas isi perut yang menyiksa. Terlebih wajah yang menyiratkan penyesalan.

"Kamu ngapain di dalam? Main congklak?!"

Kemarahannya tidak mengubah takdir. Kali ini bukan lagi angin kosong yang tiba di batas sempak. 

Segala yang baru disantapnya berserakan seperti muntahan kucing. Di pagi yang penuh kasih sayang, mencret telah menegaskan satu hal. Jatuh cinta bukan karcis pasar malam.  

What a wonderful woooorld. Sayup-sayup, Louis Amstrong seperti nyanyian dari romantika tragis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun