Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kekuasaan (dan) Para Manipulator

24 Februari 2020   12:06 Diperbarui: 24 Februari 2020   14:25 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi topeng | Sumber Photo by John Noonan on Unsplash (unsplash.com/@theonlynoonan)

Mereka bukanlah orang-orang yang telah kehilangan nurani dan akal sehat. Mereka justru harus menghilangkan nurani dan akal sehat karena cuma dengan cara itu boleh ditampung oleh sistem operasi kekuasaan. Mereka tidak lagi sebagai baut dari mesin-mesin kekuasaan yang seperti teknologi, ia memiliki hukum geraknya sendiri. Mereka telah menjadi teknologi (bagi) kekuasaan itu sendiri.

Apakah pendasaran seperti ini tidak terburu-buru dan kasar? Maksudnya, tidakkah kekuasaan memiliki sisi yang demikian beragam dan selalu terbuka bagi kebaikan atau keburukan? Jadi, kekuasaan adalah potensi.

Kita tentu masih bisa percaya pada kekuatan "moralisme individu" sebagai pemungkin dalam kekuasaan sebagai potensi. Walau tidak banyak orang, kita masih mendapat kabar baik jika yang sedikit ini mungkin menyejarah. Di sejarah modern negeri +62 berflower, kiranya Gus Dur adalah salah satunya. Selain Baharuddin Loppa. 

Karena mendekati langka, maka membicarakan "moralisme individual" rasanya hanya akan berpusar-pusar pada nostalgia. Selamanya kita menjadi "kutipan" di dalamnya.   

Barangkali yang perlu ditanyakan adalah dalam cara bagaimana hubungan seperti ini bisa tercipta atau saling mengafirmasi?

Motif. Kita perlu curiga pada motif untuk kekuasaan. Tidakkah mereka yang menduplikasi diri sebagai teknologi (bagi kekuasaan) ini menghendaki kebanggaan diri yang meluap-luap. Juga keinginan pada prestise sosial, dan privilese. Mereka merindukan "kemewahan-kemewahan" khusus dimana mereka terlihat memiliki kualitas diri yang berbeda dari kebanyakan. Mungkin, pemilik jalan nasib yang tidak boleh dimiliki semua orang.

Mentalitas. Maka pikiran-pikiran yang membangun harap tentang kekuasaan bukanlah syarat utama, kalau bukan malah sekadar salin tempel dan pengulangan semata. Termasuk kualifikasi mental yang mumpuni sebagai pengelola kekuasaan. 

Mentalitas itu mungkin berakar pada kehendak untuk selalu terlibat dalam pengaturan. Ingin selalu, setidaknya merasa, sedang berada dalam pengaturan yang cuma bisa diakses oleh segelintir saja. Tapi para manipulator menggunakan ini terbatas ada tujuan-tujuan pendek dengan kemasan atau judul-judul (pseudo)moral yang besar. 

Modus. Bagaimana memahami para manipulator bekerja? 

Mereka selalu memiliki cara, siasat atau tak pernah berhenti memanipulasi apa saja agar bisa diakomodasi dan memenangkan kekuasaan. Manipulasi paling berbahaya sekaligus selalu rumit adalah taktik manipulasi psikis. Tidak semua bisa melakoni ini, apalagi melewati tahun-tahun dengan pasang surut yang intens. 

Manipulasi psikis ini pada tahap awal tentu saja dengan membangun kesan sebagai jiwa-jiwa yang setia dan patuh. Selanjutnya, menarik kepercayaan untuk menempati fungsi-fungsi tertentu yang bekerja sebagai teknologi bagai kekuasaan. Berikutnya, menjadi subyek yang terlibat mengatur dan memelihara siklus reproduksi yang dulu dilalui. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun