Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Ketika "Bad Boys For Life" Tidak Pergi ke Mana-mana

19 Januari 2020   10:43 Diperbarui: 19 Januari 2020   14:12 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Bad Boys for Life (2019) | Sumber: wehaveahulk.co.uk

Kerja intelijen adalah kerja yang sepi - pesan ayahnya Eva Geller, dalam Messiah Session 1

Setelah sedekade dari penayangan Bad Boys II (2003), sekuel ketiga bertajuk Bad Boys For Life akhirnya tayang. Berbiaya produksi sekitar 1,26 trilyun rupiah, film ini tidak menggunakan sentuhan Michael Bay. Mengapa harus langsung menyebut nama ini? 

Tidakkah Will Smith dan Martin Lawrence cukup sebagai garansi mutu atau pelepas kangen? 

Michael Bay, saya kira, adalah tipikal sutradara yang berselera tinggi dengan visual effect- kekuatan yang sangat penting bagi jenis film action yang akhirnya tidak memberi sudut pandang atau pengalaman baru. 

Bay adalah sosok yang terlibat dalam Armageddon (1998) dan Pearl Harbor (2001) yang keduanya masuk nominasi Oscar untuk Best Visual Effect walau kalah. Selain itu, lelaki kelahiran Los Angeles 1965 ini juga terlibat dalam franchise Transformers yang visualnya mengagumkan. Lebih lengkapnya, film-film besutan Michael Bay bisa dilihat di TV Guide. 

Karena itu juga, bagi mereka yang merindukan bagaimana tertib hukum dipulihkan dengan cara-cara keras dan antiprosedural, yang tampak di layar bioskop hanyalah aksi baku pukul, tembak-tembakan dan kejar-kejaran yang begitu-begitu saja. 

Dalam kata lain, film seperti begini hanya menegaskan jika jagoan tetaplah jagoan, sesepuh apapun mereka. 

Waktu tidak mengubah apa-apa. Hanya ada rolling penjahat dengan takdir yang sama. 

Pertanyaan selanjutnya, jika konsepsi ceritanya hambar--katakan saja begitu--ditambah visual effect datar, lalu apa yang menyelamatkan film berdurasi 124 menit ini? 

Saya ingin memulai dari mengurai ide pembalasan dendam yang berkelindan dengan cinta yang ambyar.

Bad Boys For Life akan menuntun kita melihat satu penggal di masa lalu Mike Lowrey di mana dia memainkan tugas spionase terhadap kartel narkoba Mexico. Aksi spionase yang sejatinya kebablasan karena menjadi cinta dengan Isabel Aretas (Kate del Castillo), istri dari kepala kartel. 

Isabel hamil dan suaminya diketahui mandul. Celakanya, Mike yang antiaturan dan kesulitan jatuh cinta ini hanya tahu fakta yang terakhir. Isabel yang dilukiskan mempelajari sihir, yang sepanjang film kita tidak mengerti apa efeknya, menanggung dendam sepanjang hidup. 

Cintanya berubah benci. Anak lelaki buah cinta itu harus menderita dampak turunan. Ia dipersiapkan sebagai mesin mesin pembunuhnya. Kita kini tahu poros ketegangan diproduksi dari sini.

Selanjutnya, bagaimana dendam itu dituntaskan satu demi satu?

Karena dendam itu bukan saja tentang cinta yang ambyar (bayangkan, Mike memilih memenjarakan Isabel yang baginya hanya akan jadi penjahat sepanjang hidup ketimbang membimbingnya menemukan jalan kebahagiaan yang penuh dengan kisah kebaikan? Cinta-cinta karet!) namun juga pemulihan dominasi keluarga dalam perebutan wilayah kuasa kartel, Mike bukan target satu-satunya. 

Musuh keluarga Aretas adalah sistem dengan Mike sebagai salah satu penopangnya. 

Anak lelaki itu mulai menghabisi satu demi satu, dengan cara yang terlalu mudah: menembak dari jarak jauh. Jadi, kita tidak melihat satu rencana pembalasan dendam yang disusun dengan teliti. Kita hanya melihat kemapanan yang terlalu lalai.

Bahkan ketika kita dipertunjukan dengan reaksi balasan dari aparatur kepolisian yang tengah membangun unit khusus bernama AMMO, kita juga tidak melihat teknik perburuan yang berbeda. Apa yang tampil hanyalah pengulangan: teknologi pengawasan, layar tivi dimana-mana, penggunaan drone dan sisanya baku tembak. 

Sedang aksi Mike dan Marcus? 

Mereka tetap berlaku layaknya jam analog di era digital, persis John McClane di seri Die Hard. 

Tetap ingin eksis dengan cara-cara lama. Membalas dengan reaksi antiprosedural yang penuh kekerasan! Layaknya naluri binatang buas yang terluka.

Marcus yang sudah menjadi opa dan ingin pensiun, akhirnya batal. Demi " Ride Together, Die Together", ia menemani Mike untuk menuntaskan ujung dari dendam Isabel. Mereka masih terlalu tangguh. Liarnya kekerasan masih unggul. Walau kali ini dengan dukungan dari AMMO. 

Puncaknya, kita hanya melihat jagoan tetaplah jagoan. Dendam tidak pernah memenangkan apa-apa, tapi taktik bumi hangus kok bisa?

Maksud saya, maap, sesederhana itulah cerita Bad Boys For Life dikerjakan. Hehehe. 

Akan tetapi, walau tersimpulkan hambar begitu, yang justru sedikit menghibur adalah sudut pandang Marcus. Bagaimana persisnya? 

Pada sudut pandang Marcus atau dunia miliknya, kita melihat kisah persahabatan yang hangat dan semangat yang uzur (dengan badan yang mulai gemuk dan membutuhkan kacamata). Selain juga, ada cuplikan sekilas tentang aktivitas masa-masa pensiun yang tidak mudah bagi polisi yang sehari-hari akhir memburu penjahat jalanan. 

Pada dunia milik Marcus, kita diajak melihat kehidupan masa tenang bukan sesuatu yang mudah. 

Apa yang tenang tetap saja hadir sebagai sesuatu yang asing. Ia mensyaratkan adaptasi yang radikal--artinya tidak lagi bersentuhan dengan masa lalu penuh gairah itu. 

Marcus sekilas dilukiskan tidak mudah mengalami ini. Misalnya ketika ia leyeh-leyeh di kursi malas sambil mendengar musik. Tiba-tiba kipas angin tidak bekerja. Ia berusaha memperbaiki namun yang terjadi sebaliknya. 

Kehendak menjumpai masa tenang yang tidak terjadi pada Mike. Mike adalah kesendirian yang tidak ke mana-mana. Bahkan ketika ia mengetahui mesin pembunuh itu anaknya, komentar yang keluar dari mulutnya adalah anak itu mencerminkan versi paling jahat dari diriku! 

Aih, kekurangan cermin dan permenungan. Maka dari pada itu, karakter Marcuslah yang sedikit memberi "efek dramatik". Ini, bagi saya, adalah penyelamat pertama. 

Yang kedua?

Lelucon atau percakapan-percakapan konyol yang terjadi di antara dua sahabat yang menolak kalah di hadapan waktu. 

Terutama sekali dari mulut Marcus yang mungkin karena faktor usia, berusaha bijak. Berusaha mengutamakan dialog ketimbang adu otot, terbalik dengan Mike yang masih tidak sabaran dan berorientasi pada hasil yang cepat.

Misalnya, ketika mengetahui si pembunuh itu adalah anak hasil hubungan gelap Mike dengan istri bos kartel, Marcus justru merasa janggal. 

"Mengapa ketika bercinta dengan Isabel, kau tidak memakai pelindung?"

Tak puas bertanya pada Mike, ia bertanya lagi pada penumpang yang berpindah ke kursi Mike. Bangke!

Terakhir, apakah dengan menyebut dunia Marcus adalah penyelamat dari Bad Boys For Life lantas catatan sekena-sesukanya ini terbaca romantis?

Sangat bisa jadi. 

Apalagi ketika engkau berhadapan dengan film action yang tidak memberi efek kejut dari visual effect. Tidak seperti yang ditampilkan John Wick, dimana kekerasan dilukiskan bukan saja estetis tapi juga eksistensialis: membawa pikiran pada alasan-alasan dari mengadanya dendam dan kekerasan!

Hal begini terlalu canggih untuk ada di Bad Boys For Life, kawan. Tentu saja bagi saya, tanpa bawa-bawa orang se-RT.

Saran saya, Mike Lowrey butuh belajar dari Eva Geller: melatih diri melawan sepi. 

***

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun