Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[In Memoriam] Bang Thamrin Sonata yang Sedikit Saya Kenal

4 September 2019   08:31 Diperbarui: 4 September 2019   09:02 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah tiba-tiba saya mendapatkan pesan. 

Sejenis permintaan untuk memberi komentar singkat terhadap rancangan naskah kumpulan cerita yang akan diterbitkan. Kaget, tentu saja. Karena yang meminta langsung adalah Bang Thamrin Sonata atau Bang TS. 

Sesungguhnya saya tidak akrab lahir batin dengan beliau. 

Bukan saja karena tidak pernah bertemu dalam ajang offline yang diselenggarakan Kompasiana atau komunitas yang berafiliasi dengan Kompasiana. Saya juga jarang bertukar komentar di lapak Bang TS pun sebaliknya. Tidak ada cukup ikatan emosional yang terbangun padahal usia akun saya dengan beliau hanya berjarak setahun saja.

Permintaan ini muncul di tahun-tahun (kayak udah dulu bangeet) ketika saya masih selalu menemukan dorongan menulis cerita pendek atau cerita sangat pendek (Flash Fiction). Termasuk masih sering berada di barisan depan yang meramaikan event-event fiksi, mulai dari Rumpies The Club hingga Fiksiana Community hingga non-fiksi. Keramaian event yang sekarang seperti memilih jalan mati suri. 

Maksud saya, dari latar belakang singkat begini, Bang TS-saya suka memanggil begini ke beliau-ternyata memerhatikan ada jenis pergumulan yang menceritakan kisah-kisah dari pinggiran yang (barangkali) pantas dimintai komentar singkatnya. 

Mungkin juga karena saya pernah membuat analisa suka-suka saya dengan menumpang pada gagasan Ignas Kleden dalam menilai cerita pendek beberapa orang Kompasianer. Cerita pendek, bagi saya, tidak pernah melepas diri dari persilangan imajinasi dan peristiwa sosial konkrit dengan porosnya pada dunia manusia se-surealis apapun dia dikerjakan. 

Maka itu, filsafat atau sosiologi selalu memiliki alasan untuk menelisik apa yang tak terungkap di dalamnya. 

Selain Ignas Kleden, FYI aja nih, Rocky Gerung adalah salah satu yang tergolong "the best" dalam urusan mengulik yang tak tampak dari sebuah cerita pendek. Dari mereka, dari kritik-kritik seperti ini, saya sebagai pembaca yang awam dibawa melihat hal-hal yang ternyata tidak disadari atau tidak harus dilakukan penulis ceritanya. Sejenis dunia gagasan yang menjadi poros dari seluruh cerita.  

Tentang yang terakhir ini, saya baru membaca catatan Mbah Sapardi untuk kumpulan cerita pendek lama salah satu pencerita hebat yang pernah dilahirkan alam pedesaan Indonesia, Ahmad Tohari.  Senyum Karyamin, judulnya. Kumpulan cerita pendek yang menandai rangkaian panjang dari produksi karya penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982).

Bagi saya, selalu ada sesuatu yang penting (kalau Anda tidak suka menyebutnya "serius") dalam cerpen yang dikerjakan dengan ketekunan. Cerpen seperti ini selalu bisa membawa pembacanya pada suasana yang tidak lagi ditemukan dalam hidup sehari-harinya. Seperti mengalami transfusi pengalaman. 

Walau begitu, dalam interaksi yang minim secara online, saya sadar Bang TS memiliki jejak pengalaman yang kuat dalam dunia menulis khususnya Cerita Pendek. Cerita pendeknya di Kompasiana, sejujurnya adalah ekslempar yang ingin sekali bisa saya tiru. Ceritanya mengalir, emosinya lembut dan sangat kuat melukiskan suasana. Romantik tanpa harus mendayu-dayu.

Cerita Pendek Bang TS, bagi saya, memiliki daya untuk proses transfusi pengalaman.

Hal kedua, yang ingin saya kenang dari beliau adalah perihal reportase Bang TS terhadap "peristiwa sastra". Ada yang mula-mula sentimentil di sini.

Pernah ada nama saya yang ditandai di laman Facebook dalam reportase yang diunggahnya. Entah karena alasan apa saya perlu ditandai yang jelas saya senang karena seolah-olah saya sedang "hijrah" ke dunia Sastra dari dunia sebelumnya yang entah apa. Bang TS tanpa sengaja turut memberi imej baru pada jenis Udik, Pinggiran dan Kadang-kadang ini. 

Saya merasa "naik kelas". Hahaha. 

Poin yang saya maksudkan adalah reportase yang ditulis oleh mereka yang bertahun-tahun berjibaku di dalamnya, saya bukan saja diajak menikmati peristiwa tanpa berada di sana. Saya justru harus belajar melihat apa yang tidak saya lihat andai saja berada di sana dan menuliskannya. Hal-hal yang terabaikan karena perbedaan sudut pandang atau kedangkalan pemaknaan.

Mungkin juga, dengan meminta sedikit komentar dan menandai akun saya ketika ada peristiwa sastra yang beliau hadiri, ada pesan lain yang ingin Bang TS sampaikan. Lebih serius lagi bergiat fiksi, mungkin. Keseriusan yang kini terbengkalai karena satu, dua, tiga dan empat lima lain hal yang menandai pasang surut seorang amatir bin payah. Huhuhu.

Oh ya, soal naskah kumpulan itu cerita milik Bang Ikhwanul Halim itu, saya sedikit lupa, tapi rasanya ada nama Panglima Besar Pepih Nugraha. Ngasih catatan Pengantar.  Apalah saya ini Bang TS sehingga diperlakukan sebegitu pantas? 

Selamat Berpulang Bang TS. Hormat yang tinggi dan terima kasih!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun