Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

[Even Semarkutiga] Sagu Gula Merah, Kudapan dan Kenangan dari Papua

9 Juli 2019   07:55 Diperbarui: 11 Juli 2019   21:09 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sagu Gula Merah | Sumber: travel.kompas.com

Tidak ada yang boleh memisahkan kita, kuliner dan bagaimana hidup dijalani sebagai manusia Indonesia di tengah gempuran impor selera dan globalisasi cepat saji. 

Saya memiliki seorang Mama yang mengingatkan banyak hal ketika pulang ke Serui, Papua sekitar tahun 2011. Jika dihitung sejak tahun 1990, maka ada jarak 21 tahun saya tidak memiliki ingatan yang baru tentang kota kecil dimana saya dilahirkan, belajar mencintai sagu, memakan pinang dan bermain bola. 

Saya beruntung karena Mama saya ini mampu mengenang peristiwa di tahun-tahun yang jauh. Semua hal serasa sengaja disimpan untuk satu saat dibagikan. 

"Kamu, pernah pada suatu pagi sebelum ke sekolah datang ke sini. Tidak ada apa-apa yang bisa dimakan selain nasi dingin (sisa semalam) dan teh hangat." Kenang Mama saat itu. 

Jadi?

"Kamu makan nasi kosong itu dengan kuah teh manis hangat lalu berangkat ke sekolah." Saya tertawa dengan berurai air mata. Kadang-kadang, kenangnya lagi, saya bisa makan papeda dingin dengan teh seperti anak-anaknya yang lain. 

Mama saat itu bercerita dengan endapan keharuan akan kehidupan seorang guru, kesederhaan dan persaudaraan lintas anak manusia.

Di kota Serui tahun 80-an, kami jelas tidak cukup mengenal snack pabrikan yang memang belum seperti cendawan di musim hujan. Televisi belum menjadi sarana pengangkut angan-angan yang efektif. Dapur keluarga masih menjadi pusat dari produksi kuliner, selain pasar tradisional. 

Dengan kata lain, sistem selera masih didominasi oleh preferensi sosial yang dituruntemurunkan masyarakat. Sistem selera yang kemudian disebut makan tradisional Nusantara.

Akan tetapi makanan bukan cuma selera atau bagaimana menjaga cita rasa kuliner masyarakat bertahan dari generasi ke generasi. Cerita Mama tentang nasi atau papeda dingin berkuah teh itu menyadarkan jika masa kecil yang sehangat itu ternyata adalah pendidikan dini bagi kemampuan beradaptasi dengan makanan berkarakter minimalis. 

 Ya, benar-benar minimalis. Mulai dari sajian, kandungan unsur atau mungkin nilai gizi yang tersimpan di dalamnya. Jenis makanan yang kelak menyertai hari-hari sebagai perantau.

Sagu Gula Merah dan Saya

Perihal makanan yang minimalis inilah, saya ingin berbagi cerita tentang salah satu saja sukses yang merawat rasa rindu di lidah. 

Saya tidak lagi mengingatnya dengan persis, tapi rasa-rasanya di pertengahan 80-an itu, dia juga berhasil menjadi salah satu penanda penting dari keberadaan jajanan kudapan di tempat tinggal kami selain kudapan Barapen.  

Kudapan ini bernama Sagu Gula Merah, yang juga merupakan kudapan favorit di tanah Maluku, khususnya di kota Ambon. 

Bahan dasarnya adalah tepung sagu (Metroxylon sagu Rottb), gula merah/aren dan parutan kelapa. Selanjutnya, tepung sagu dan parutan kelapa akan dicampur lalu dimasukan ke dalam tungku pembakar yang disebut porna yang terbuat dari tanah liat. Gula merah akan dimasukan sebagai isinya lalu dibakar hingga kecoklatan. Sederhana itu dia diciptakan.

Anda yang penasaran bisa membaca reportase ringkas tentang makanan ini yang dilengkapi dengan foto-foto aduhai dari perjumpaan dengan kuliner kota Ambon di Sagu Gula, Camilan Spesial yang Bikin Kangen Tanah Ambon. Demikian juga yang diceritakan laman Travel Kompas di Liburan ke Ambon, Wajib Coba Kuliner Sagu Gula Aren yang Kian Langka.

Sagu Gula Merah adalah perpaduan rasa manis dan gurih. Karena itu juga, dia lebih asik disantap pada sore hari bersama kopi dan orang-orang yang mencintaimu sepenuh hati. 

Mama saya adalah salah satu yang terampil mengolah sagu gula merah selain olahan berbahan sagu lainnya. Di ingatan saya yang samar-samar, saat itu, rasanya tidak banyak orang di tenpat tinggal kami yang  membuat kudapan ini. Dan Mama tidak membuatnya setiap hari walaupun dikomersilkan. 

Saya tidak tahu mengapa "tidak dibuat setiap hari dan terbatas" itu dilakoninya. Jika karena bahan yang terbatas, saya kira tidak. Saat itu, kapanpun hendak menikmati sagu, selalu ada di pasar. Yang jelas, pilihan ini membuat Sagu Gula Merah menjadi barang yang dinanti-nanti, Saya salah satu yang selalu berdiri di pinggir porna selama dibakar. Saya tidak ingin menjadi bagian dari yang kecewa karena kehabisan. 

Ini mungkin maksud pertama tak terkatakan dari kenapa kudapan ini dibuat terbatas an tidak setiap hari. Atau dengan bahasa ekonomi, dibuat tidak untuk membentuk konsumen yang lebih luas. Sebabnya agar ia dinanti-nanti dan diburu. 

Selain itu, dengan pilihan menjadi terbatas dan tidak setiap hari atau tidak untuk menyerap konsumen dalam jumlah besar, Sagu Gula Merah di tangan Mama saya terus terlihat sebagai kudapan yang dirawat dengan prinsip limited edition. 

Maksud saya, di tangannya, makanan yang tidak kaya akan unsur atau rempah-rempah ini, dikerjakan dengan fokus yang tinggi. Setiap prosesnya, dimulai dari pemilihan bahan, penyiapan adonan, pembakaran hingga penyajian dikelola dengan konsentrasi yang penuh. Seolah saja, seluruh pengalaman memasaknya terlibat dalam menciptakan Sagu Gula Merah. 

Apa yang secara unsur tampak minimalis kini tak lagi minimalis. Perpaduan ketiganya sukses menjadi kudapan yang memelihara kerinduan akan mutu cita rasa dan karenanya menciptakan konsumen yang loyal- saya misalnya.

Sayang sekali, ketika kami bertemu sesudah 21 tahun yang memisahkan, saya tidak lagi memintanya membuat kudapan ini. Mama sudah terlihat lebih tua dan hanya ingin membagikan nostalgianya saja. Saya juga lebih ingin mendengar masa lalu tumbuh dan sejak saat itu hingga hari ini, saya tidak lagi menikmati Sagu Gula Merah. 

Seperti ada yang hanya tertunda. Tidak hilang, hanya memanggil pulang. Tidak ada yang memisahkan kita, kuliner dan bagaimana hidup dijalani sebagai manusia Indonesia di tengah gempuran impor selera dan globalisasi cepat saji. 

Demikian juga saya dan Papua.   

 ***

Sumber: Semarkutiga
Sumber: Semarkutiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun