Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Narasi "Venom", Superhero di Pengulangan Krisis Gagasan

30 November 2018   07:34 Diperbarui: 30 November 2018   12:24 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Venom (2018) | Sumber foto: Vox

Venom adalah Superhero. Tapi bukan untuk Tom Hardy!

Tom Hardy seharusnya adalah sebuah kualifikasi. Itu artinya sebuah film akan bagus karena diasuh sutradara yang brilian dan naskah yang jempolan dan Tom sendiri adalah sedikit dari jenis yang terpilih atau pantas. 

Sebagaimana ketika ia bermain untuk film besutan Christopher Nolan, seperti Inception (2010), Dark Knight Rises (2012) atau Dunkirk (2017). 

Termasuk film Guy Ritchie, RocknRolla (2008) dan The Revenant (2015), besutan Alejandro Gonzlez Irritu yang membawa Leonardo di Caprio memenangkan Best Actor di perhelatan Academy Award ke-88; piala Oscar pertamanya. Sedangkan Tom Hardy yang berperan sebagai John Fitzgerald sendiri masuk nominasi Best Supporting Actor.

Walau begitu, salah satu peran terbaik yang dilakoni lelaki bernama lengkap Edward Thomas Hardy ini adalah sebagai Bane dalam Dark Knight Rises, sekuel ketiga dari kisah Batman versi Nolan. 

Bane bukan lagi hasil tak terduga dari eksperimen penciptaan mesin pembunuh yang membuatnya "Beyond Human", sebagaimana Deadpool, misalnya. 

Dalam terang ide Nolan dan Goyer, musuh Batman yang pertama kali muncul di Batman: Vengeance of Bane #1 (1993) dilahirkan sebagai anti-superhero yang lebih mendekati kenyataan. 

Di balik topengnya, hidup seorang pemimpin tentara bayaran, yang anti-superhero, pengusung taktik anarkis dengan pengabdian yang tanpa akhir. Bane memiliki masa lalu dalam sebuah penjara yang tidak memiliki apa-apa selain kumpulan manusia yang bertahan menunggu mati. 

Hanya segelintir yang berani melawan ketidakmungkinan, baik terhadap kebebasan atau kehidupan itu sendiri. Dan Bane sedikit dari yang menang sebelum berakhir di tangan Batman. 

Jika masih penasaran dengan karakter fiktif produksi DC Comics yang satu ini, saya pernah menulis sosoknya secara lebih khusus dalam kaitannya dengan serangan teror di Paris, di tahun 2015. Bapak, Ibu dan Saudara-saudari sekalian bisa membacanya di Paris Attack, Karakter Bane dan Psikologi Teror.

Karena itu juga, saya menjadi hadeeh sendiri saat melihat Tom Hardy menjadi tubuh dari Venom. Atau lebih persisnya, bagaimana gagasan yang mengitari kemunculan Venom. 

Venom adalah film superhero yang berasal dari Marvel Comics dengan sutradara Ruben Samuel Fleischer. Film berbiaya sekitar 100an juta dolar Amerika sudah dirilis sejak Oktober. 

Di situs Internet Movie Data Base, film yang berdurasi 112 menit ini mendapat rating 7 dan wikipedia memberi tahu jika berhasil meraup untung sekitar 800an juta dolar Amerika. Capaian yang lumayan.

Tapi apakah Venom memang pantas lumayan, jika kita perhadapkan dengan beberapa kisah superhero, baik yang bersumber dari komik, novel atau legenda? Bagaimana cara membandingkannya?  

Saya tidak akan melakukan kerja perbandingan yang ambisius itu. Namun ada satu cara untuk menunjukan status lumayan atau tidak lumayan sebuah narasi superhero. 

So, mari kita ungkap gagasan yang melahirkan Venom. Gagasan yang menunjukan situasi krisis dan mengapa superhero dibutuhkan, mengapa ia lumayan atau justru membosankan. 

Sekurangnya, saya menemukan tiga ide yang menjadi inti dalam cerita. Tiga yang...yah, begitulah..

Pertama, bumi yang sedang sekarat, oleh kelebihan populasi dan perubahan iklim-bumi yang bikin Thanos ngamuk-ngamuk tempo hari! Dunia seperti ini bukan saja tidak layak lagi dihuni oleh manusia, yang beranak pinak sejak zaman batu, feodal, modern hingga supermodern. 

Dari zaman manusia hanya menulis pesan di dinding goa hingga pesan WAG yang menggunakan stiker, walau masih ada yang bertahan dengan Blackberry sih. 

Bumi dalam Over-Population pun Climate Change itu tidak terlalu dijelaskan sebab-sebabnya. Satu-satunya yag berhak sebagai tersangka adalah manusia itu sendiri, dengan segala pemujaan pada rasio dan saintisme yang, sekali lagi, telah membunuh tuhan. 

Bumi paska-tuhan hanyalah panggung hidup dari krisis-krisis multidimensi yang digerakan oleh narasi pemujaan, kehilangan bersama manusia-manusia yang bergulat mencari pegangan baru. 

Maka kenanglah selalu lelaki berkumis tebal dengan mata tajam yang muram itu: tuan Friedrich Wilhelm Nietzsche!

Kedua, lalu ada dua kontras moral dan visi terhadap bumi yang kesakitan itu. Pertama, disimbolisasi oleh Carlton Drake, CEO pada Life Foundation. Drake muda, kaya dan "gila". Dia melihat masa depan berada di luar bumi dengan mahluk baru. Mahluk itu adalah persilangan manusia dengan alien yang disebut Simbiotik. 

Maka dia membayar para ahli lalu membuat ekspedisi dan eksperimen. Korbannya adalah jelata gelandangan atau orang-orang yang dalam penilaiannya sudah tidak lagi berguna, hanya bikin penuh bumi dan menambah sampah peradaban saja. Dalam tubuh jelata ini, simbiotik itu akan menumpang hidupnya (inang).

Inilah visi eskatologis Drake.  

Sedangkan yang kedua, menjadi resistennya adalah jagoan kita, yang menjadi inang dari Venom. Eddie Brock, seorang jurnalis investigasi yang tersohor. 

Eddie adalah perlambang dari seorang idealis yang lebih memaknai Drake sebagai penguasa kejahatan ketimbang orang muda kaya yang sedang berjuang menyelamatkan kehidupan. Eddie kelak mewawancarai Drake dan bikin masalah.

Tapi jangan bertanya bagaimana Eddie menjadi jurnalis yang dirindukan liputan-liputannya, dimana dia bersekolah dulu dan dari keluarga dengan preferensi nilai seperti apa, Trump atau Obama, misalnya. Kita harus langsung menjumpai cerita jika jurnalis cum aktivis yang satu ini memiliki kekasih yang meninggalkannya karena wawancara yang berantakan. 

Eddie tidak bisa berkelahi. Tidak punya riwayat seperti Wiro Sableng yang harus hidup dalam mimpi buruk pembantaian ayah dan ibunya serta digembleng Sinto Gendeng sebelum menjadi pendekar sakti. 

Sebagaimana Bruce Wayne yang harus melawan trauma terhadap kejatuhan, kegelapan dan dendam atas pembunuhan ayah dan ibunya dalam Batman Begins; sebagaimana Arthur yang dibesarkan dari rumah pelacuran dan kehidupan Londominium yang keras sebelum merancang kudeta penggulingan pamannya dalam Legend of the Sword. 

Eddie memang patah hati, dipecat, terpuruk dan tiba-tiba saja sakti karena Venom di dalam tubuhnya.

Ketiga, bahwa sang penyelamat kehidupan dan pemenang masa depan itu adalah sintesis manusia dan alien. Perkenalkan dia bernama "Enom" alias Eddie dan Venom! Atau kalau Venom menjangkiti saya, maka bermutasi sebagai A-ven. 

Venom, sebagaimana galibnya alien-alien itu, memiliki tingkat kesaktian yang entah bagaimana bisa seperti itu. 

Dengan wujud yang tidak lebih bagus dari agar-agar berwarna hitam, mereka bisa membaca suara dalam kepala, mampu berubah-ubah bentuk, memiliki kekuatan yang hebat tapi kalau mendengar bunyi yang keras, bisa terlempar dari inangya. 

Singkat kata, tanpa tubuh manusia, mereka hanyalah agar-agar beracun!

Tiga gagasan ini, asli, bikin eneg. Sekalipun diselipi beberapa adegan komedikal tapi itu tidak menutupi sesuatu yang sedang krisis. Bukan di bumi tapi dalam kepala yang bikin ceritanya. Seperti yang menghidupi Infinity War dan Hal-hal yang Berulang.

Tetapi kok bisa di-rating 7? 

Saya jadi harus makin panjang hadeeeegh-nya.

***    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun