Walaupun berusaha memberi konteks kehidupan yang penuh hura-hura lantas terpuruk, pengadilan yang korup, perlakuan terhadap narapidana yang tidak lebih baik dari menggiring hewan ke rumah jagal, serta kesewenang-wenangan sipir penjara. Termasuk tragedi remaja yang menjadi obyek dari kekerasan seksual. Tapi itu tidak cukup greng.
Banyak hal yang selintas terlihat suram dan mengenaskan sebagai latar besarnya-saya bahkan sempat membayangkan setting sedemikian hendak mengajak penonton untuk melihat kuasa irasional di balik klaim sistem hukum modern Barat, yang katanya rasional dan makin manusiawi-justru melahirkan Papillon yang seolah superhero zaman kolonial.
Seseorang dengan semangat baja serta pikiran yang tak pernah menyerah demi kebebasan. Bukan saja bernyali lebih, dia juga mahir berkelahi. Di atas segalanya, perjuangan meraih kembali kebebasan adalah inti dari hidup manusia.
Merdekaaa!!
Papillon dalam besutan Michael Noer mungkin terlalu berambisi menunjukkan ending yang happy. Mungkin terlalu bersemangat dengan arti penting kebebasan tapi kurang sabar dalam menunjukan padanan kontradiksinya: kejahatan kolonialisme.
Aku sudah bercerita. Selesai sudah!
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI