Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menjadi Turis dalam Sehari

12 September 2018   10:19 Diperbarui: 12 September 2018   17:57 2217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Telaga dilihat dari tengah sungai Katingan, Kalimantan Tengah | Dok.pribadi.

Man, it seems to me, is not in history: he is history - Octavio Paz

Turis secara sederhana dapat dimengerti sebagai orang yang bepergian atau mendatangi suatu tempat demi mencari kesenangan. 

Dalam kaitan dengan "pencarian kesenangan ini", kita mungkin boleh menyusun kausalitas di balik itu secara apriori. 

Misalnya, dengan menemukan kesenangan baru, menjadi turis adalah menghindarakan dirinya dari hal-hal menjemukan yang menggerus batang usia ke dalam hampa. Mungkin juga dari beban-beban harian yang telah menjenuhkan, entah dari pekerjaan atau keseharian hidup yang berputar pada orbit sama sepanjang tahun. 

Mungkin saja dari kerinduan terhadap suasana tertentu, sesuatu yang eksotis di belahan bumi nun jauh di sana, yang sebelumnya hanya terimajinasikan lewat perangko, memoar atau kitab-kitab penjelajahan masa lalu; kitab dari masa kolonialisme. Mungkin juga demi melarikan diri dari masalah-masalah yang terus bertambah dari pelarian-pelarian sebelumnya. Duh.

Karena itu, turis selalu ditujukan kepada mereka yang berposisi "Outsider"?

Dalam banyak kasus, mungkin saja iya. Termasuk para turis domestik yang datang ke propinsi tetangga karena ingin menemukan lokasi baru yang menjanjikan kesenangan. Maksudnya kepada mereka yang secara sengaja merencanakan perjalanan ke daerah atau lokasi tertentu untuk menemukan kesenangan. Perencanaan disengaja itu menunjukan kehendak yang kuat sekaligus keingingan yang mendesak-desak. 

Dalam hubungan yang seperti itu, Outsider adalah mereka yang mengalami pengalaman turis tidak semata-mata untuk menghabiskan waktu luang atau sekedar demi instagramable. Ada "motif" yang lebih kuat dari itu, lebih subtil, mungkin juga lebih eksistensial. Lebih dari sekadar membayar kesenangan: saya membayar, puaskan saya!

Lewat catatan ini, saya memang tidak berkeinginan menceritakan dunia makna turis yang serius itu. Termasuk membicarakan bagaimana menjadi turis dapat saja merupakan varian dari aksi "kontra-intelijen". Semisal yang dilakukan Jhonny Deep demi kekasih semlohainya, Angelina Jolie di film The Tourist (2010).

Saya hanya ingin menceritakan bagaimana pengalaman menjadi turis terjadi lewat sebuah inversi alias pembalikan!

Bermula dari Kelas Belajar
Hari baru akan memasuki sesi makan siang dan hujan turun. Deras dan konstan. Ruangan seperti dibekap cemas. Ini kalau hujannya hingga sore, kelas belajar terancam bubar sebelum tuntas, batin saya.

Kecemasan yang makin berlebih mengingat kelas kali ini diampu oleh seorang ibu dari Australia yang sudah berpuluh tahun mengembangkan bisnis ekowisata khas sungai dan hutan. Ibu Gaye Travinsin, namanya. Kelas itu adalah kelas belajar Pengelolaan Ekowisata (Buat Pemula). 

Kelas yang diikuti oleh orang-orang desa yang mengabdikan diri mereka sebagai pengurus dari Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Kelembagaan yang bekerja menjalankan mandat Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dalan perijinan Perhutanan Sosial. Jumlah mereka tak banyak. Hanya 10 orang. 12 ditambah saya dan seorang kawan.

Orang desa yang sehari-hari hidup di pinggiran DAS Katingan, Kalimantan Tengah. Perkampungan mereka yang dibentuk dari rumah-rumah panggung ini berada di kecamatan Kamipang, sekitar 3-4 jam dari Palangkaraya dengan kendaraan darat. Atau kalau menggunakan perahu besar (kelotok) dari Kasongan, ibu kota kabupaten Katingan, bisa memakan waktu sekitar 4 jam. 

Sementara sumber-sumber utama dari produksi ekonomi rumah tangga mereka adalah dari perikanan tangkap dan pemanfataan hasil hutan. 

Kelas Belajar Ekowisata ini adalah kelas pertama yang dilaksanakan untuk membangun wawasan bersama terhadap sungai dan hutan rawa Gambut sebagai ekosistem yang terintegrasi. Makna terintegrasi adalah kelestarian keduanya saling mengandaikan.

Anda tidak bisa mengharapkan sungai akan baik-baik saja jika hutannya meranggas mati, sama sebaliknya. Pada akhirnya, manusia juga tidak akan baik-baik saja. Selain itu, harapan butuh tindakan untuk menjaganya tetap hidup di batas niscaya, bukan?

Hal kedua, kelas ekowisata atau ecotourism itu dimaksudkan agar nantinya boleh mengelola keindahan sungai dan hutan atau perkampungan dan tradisi yang hidup di dalamnya sebagai asset wisata yang memberi manfaat ekonomi.

Pemanfataan keindahan lansekap sungai dan hutan di lokasi hidup mereka, dimana Bekantan dan Orangutan juga burung-burung khas hutan rawa gambut hidup di dalamnya, bukan sesuatu yang sekadar mengikuti trend. Lebih penting lagi, usaha pemanfaatan ini adalah pilihan bersama yang diambil agar boleh menemukan alternative economy yang lebih tangguh dalam menjaga kelestarian alam sekaligus sumber baru dari peningkatan kesejahteraan warga desa.

Dua tujuan besar yang juga menjadi inti nilai dari kebijakan Perhutanan Sosial itu sendiri. Terus, dengan tujuan yang sedemikian besar dan berdampak panjang, siapa yang bisa diajak berbagi pengalaman dan mimpi?

Yakinlah jika niat baik selalu menemukan persekutuannya.

Ada satu institusi bisnis ekowisata yang sudah bekerja selama sepuluh tahun Kalimantan Tengah, khususnya dalam wisata susur sungai dan pengamatan satwa yang berada di wilayah Katingan dan Seruyan. Paket wisata mereka memiliki pasar internasional, dengan tamu-tamu yang berasal dari Amerika, Jerman atau negara-negara di Asia.

Mereka adalah kelompok Kalimantan Tour Destinations (KTD) atau yang lebih dikenal dengan Wow Borneo. Ibu Gaye Travinsin adalah direkturnya. Bersama dua orang staffnya, beliau bermurah hati menuntun kami belajar Ekowisata. 

Jika kamu ingin tahu lebih banyak, silakan mengunjungi website mereka: Wow Borneo. Kalau kamu masih juga gak penasaran, noh pelototin video di bawah ini, Gengs.

Aksi Inversi: Mendadak Outsider alias Turis Sehari

Sekilas catatan menyebutkan jikalau industri turisme sendiri diperkirakan paling sedikit telah tumbuh sejak masa Roma Kuno (abad ke-8 SM). Ditandai dengan munculnya orang-orang kaya (wealthy citizens) yang memutuskan untuk menghabiskan musim panas mereka di luar kota, melakukan perjalanan di pedesaan dan pantai. 

Dalam era yang telah lebih kompleks oleh "tekanan globalisme", alasan-alasan untuk menghabiskan musim tertentu dalam perburuan kesenangan atau pemulihan kelelahan psikis khas manusia mungkin berjangkar pada kondisi-kondisi negatif modernitas. Negatifitas yang berkaitan dengan pemaksimalan prinsip-prinsip efektif dan efisien yang memaksa manusia terpelihara oleh kalkulasi-kalkulasi ala Homo Economicus seperti yang digambarkan Romo Herry-Priyono. 

Lalu bagaimana dengan saya atau kumpulan kami yang sekilas terlihat berdiri diantara tradisionalisme yang megap-megap dengan modernisme (= pertumbuhan ekonomi) yang masih entah untuk (si)apa? Apa jenis negatifitas manusia modern yang menerpa saya?

Pada proses pembalikan sebagai turis dalam sehari itu, saya mengalami beberapa "momen" yang mungkin bisa menjadi penjelasnya. Setidak-tidaknya dengan meletakkannya pada pergumulan biografis. 

Persisnya, proses pembalikan itu muncul dari ide ibu Gaye dalam melakukan simulasi. Beliau mendudukan kami sebagai turis yang mendapatkan layanan "Spirit of Kalimantan".

Saya dan teman-teman peserta lalu dituntun untuk melihat segala fasilitas dan layanan yang disediakan. 

Saya mulanya hanya berseloroh, "Jika sebelumnya, kita di kampung, ada kapal membawa bule, kita spontan berkata 'Wiih, ada bule', kali ini berbeda. Gantian kita dari kapal yang mengatakan, 'Wiih, ada kampung!', hehehe."

Serempak, semua tertawa. Saya tiba-tiba merasa ganjil sendiri. Perpindahan kata "ada bule" kepada "ada kampung" membawa saya tiba pada perasaan asing. Seolah saja, tidak pernah mengalami hidup sehari-hari di Telaga atau di desa yang terhampar sepanjang sungai Katingan. Padahal saya memiliki tahun-tahun yang berpindah di antara hulu dan hilir sungai.

Saya merasa dicabut dari pengertian atau bahkan dunia makna yang selama ini terhidupi. Ketika saya berada di atas kapal!

Dari kapal dengan layanan yang berkelas internasional--ingatlah jika Wow Borneo melayani wisatawan asing--saya melihat sebuah desa yang sederhana, dengan irama yang lambat, dengan orang-orang yang bergantung pada pemberian sungai dan hutan. Saya melihat rumah-rumah yang mengapung dengan perahu yang hilir mudik dan perempuan-perempuan yang sedang mencuci. 

Apa yang dipikirkan Robinson Crusoe atau Jan Piterzsoon Coen dari posisi seperti ini? Sekurang-kurangnya, Jack Sparrow? Ya, mana kutahu. Ingin saya membayangkan diri sebagai tuan-tuan kolonial dari Negeri di Atas Angin itu, tetapii..

Yang muncul di kepala saya, mendesak-desak di ruang batin adalah sederet pertanyaan. 

Nelayan Tua dan Ikan Toman | Dok.pribadi
Nelayan Tua dan Ikan Toman | Dok.pribadi
Seberapa mendalam kau memahami apa yang hidup di perkampungan itu? Seberapa utuh mengerti bagaimana model pembagian kerja dan kuasa yang hidup dalam rumah tangga dalam hubungannya dengan pemanfataan hasil sungai dan hutan? Bagaimana itu semua hidup dalam sejarah mereka yang panjang bersama pasang-surut dan perjumpaan dengan modernitas ekonomi yang mengeruk hutan? 

Bagaimana mula-mula perempuan dan laki-laki mengalami pembagian kerja yang terintegrasi pada perikanan tangkap yang dalam kekiniannya perempuan terlatih membuat ikan kering (asin) dan laki-laki terlatih memasang perangkapnya? Atau, bagaimana peran seperti itu dipelihara bertahun-tahun dan masih terwariskan dalam laku dua pasangan yang lebih muda? Terlebih ketika kota menggurita dan industri perkebunan tumbuh di pinggir halaman depan rumah mereka.

Dari sumber produksi tradisional yang seperti ini, pengharapan futuristik apa yang mereka imajinasikan? Saya terus menemukan diri seperti Friedrich Engels manakala menulis The Origin of the Family, Private Property and the State (1884). Waduh.

Dan ketika anak-anak dalam rombongan yang sedang bermain di jalan semen itu mendadak gaduh dan melambai-lambaikan tangan ke kami, saya balas melambai dan teriak, "Woooiii." Mereka tertawa. Saya yang ngeri. 

Mendadak turis dalam situasi seperti ini -dipindahkan dari pengalaman lokal sehari-hari ke dalam posisi penikmat layanan wisata-malah membuat saya jungkir balik mencurigai diri sendiri. Kamu itu ngapain aja di sini? Huhuhu.

Kelas belajar dalam praktik simulai layanan wisata ini bukan saja mengasup pengetahuan baru kepada kepala. Namun yang lebih "dramatik" adalah mengguncang semesta kesadaran yang dalam beberapa hal, seperti nyaman-nyaman saja tentang manusia Dayak, sungai dan hutannya. Padahal, sejatinya, dangkal dan menggelikan.

Kerja baru dimulai, matahari memang masih di temaram. Cuma itu yang membatin..

(Telaga, Katingan. Awal September 2018)

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun