Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membaca Manusia dalam Sejarah pada "Menapak Koridor Tengah" Sarwono Kusumaatmadja

15 Agustus 2018   22:06 Diperbarui: 27 Mei 2023   11:22 1729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain cerita cara rekrutmen, satu yang penting dari hari-hari di ITB adalah saat itu, pertentangan ideologi begitu kencang di dalam kampus. Pertentangan ini merupakan pantulan dari situasi nasional yang diperparah oleh tiadanya mekanisme suksesi serta kesengsaraan yang makin meluas.

Saat itu, di kalangan aktivis mahasiswa, puncak konflik sedang terbangun. Mereka gelisah dan tegang. 

Saya mencatat ketegangan dan kegelisahan itu belum menjalar ke masyarakat. Di kalangan orang biasa, ada anggapan bahwa semuanya merupakan kejadian-kejadian kecil saja. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa kejadian-kejadian sporadis itu adalah bagian dari ledakan besar yang akan terjadi. Ketenangan orang banyak itu seperti keheningan sebelum badai, quiet before the storm. (hal 80).   

Kesaksian seperti ini membawa kita melihat konteks dari pembentukan aktivisme yang dilatari oleh benturan ideologi dan rezim politik yang sedang menuju senjakala. Saat itu, kampus begitu riuh dengan polarisasi politik. Sebuah era baru sedang menanti lahir dari benturan keras. 

Memang, Pak Sarwono tidak menyebut situasi Perang Dingin yang menjadi bingkai besarnya, namun MKT tetap mengakui adanya aliansi dengan penguasa militer di masa-masa itu dalam konteks "kontra ideologi" terhadap anasir politik komunis. Aliansi yang terus terpelihara hingga masa menjadi politisi penuh waktu.

Keempat, bagaimana sang tokoh bersikap atas situasi politik yang dinamis dan mampu menghadirkan dirinya dalam peran politik yang membuatnya layak disebut sebagai tokoh. Di titik ini, kita akan melihat bagaimana Pak Sarwono tampil sebagai menteri dengan akses langsung kepada presiden Soeharto.

Saat itu tahun 1971 dan menjelang pemilu. Golkar sendiri sedang dalam transisi dari Sekber Golkar yang masih bermitra dengan TNI. Jika konteksnya Bandung atau Jawa Barat secara umum, maka itu merujuk pada Kodam VI/Siliwangi. Saat itu kepengurusan Golkar diambilalih oleh militer. Sebelumnya, relasi mahasiswa dan militer memang sudah terjalin sejak 1966, saat kejatuhan Soekarno.

Pada periode awal berpolitik inilah, ABRI merupakan institusi yang memasukkan mereka ke dalam Golkar, menjadi caleg dan selanjutnya duduk di DPR.  

Lantas, apa yang dimaksud dengan "Koridor Tengah"? 

Koridor Tengah adalah dua batas yang tidak boleh dilanggar karena akan berdampak pada stabilitas nasional. Yang pertama adalah larangan mengubah UUD'45 dan Pancasila sementara yang kedua adalah suksesi kepemimpinan nasional. Khusus yang terakhir, jika ada upaya yang dianggap serius untuk mengganti presiden, apapun rumusannya dan siapa pun yang melakukannya, langsung diambil tindakan untuk memadamkannya (hal 140).  

Dus, kita boleh mengerti jika opsi Koridor Tengah dalam politik bukanlah sikap permanent. Ia dibentuk oleh kondisi politik dan sejauh apa hubungan antar kekuatan-kekuatan yang menopangnya tetap solid. Dalam perkembangan kemudian, Koridor Tengah yang dimaksud adalah sikap untuk tidak masuk ke dalam lingkaran dalam Cendana. Sebuah sikap yang, seperti wawancara di SCTV itu, kemudian menjadi berhadap-hadapan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun