Nah, pada rasionalitas instrumental itulah, kontradiksi terjadi. Rasionalitas mengajar prinsip efektif, efisien, kalkulasi, prediksi serta kontrol ketat dalam pencapaian tujuan dan tak jarang bisa menghalalkan segala cara. Masyarakat dengan ekonomi kapitalistik mengadopsi prinsip ini dalam mesin ekonominya, yang menjadikan kerja keras sebagai ekspresi utamanya. Laku seperti ini tecermin dalam slogan Time is Money yang terkenal itu. Jadi, kerja keras yang dituntun oleh prinsip rasionalitas instrumental itulah yang menentukan kualitas individual dalam masyarakat dengan norma-norma ekonomi kapitalisme.
Namun, dalam perkembangan masyarakat Amerika mutakhir, perilaku instrumentalis yang sarat dengan kerja keras dan pencapaian prestasi itu, tidak berbanding lurus (korelatif-afirmatif) dengan perkembangan selera pada wilayah kebudayaan. Dalam ranah kebudayaan itu, berkembang nilai-nilai hedonistik yang tumbuh subur. Nilai-nilai hedonistik yang menghamburkan dan mengeksploitasi semesta kesenangan dan menghancurkan laku kekang diri terhadap godaan dunia yang merupakan salah satu syarat dari keberhasilan perilaku ekonomi kapitalisme pada masa awal.
Sekali lagi, kritik Bell atas perkembangan masyarakat kapitalisme mutakhir itu hanya relevan pada kalangan atas yang memiliki tradisi kerja keras, karier dan pencapaian material (uang) di atas rata-rata. Saya tidak membicarakan keturunan kalangan atas yang hidup dalam keberlimpahan warisan dan energi hidupnya dikendalikan oleh oksigen hedonisme.
Apakah perkembangan seperti ini, yang pernah ditemukan Daniel Bell pada masyarakat Amerika kontemporer, juga sedang terjadi dalam kalangan atas masyarakat Indonesia? Secara spesifik, apakah dalam kasus prostitusi kalangan atas dengan tarif gila tersebut dapat dikatakan mewakili gejala kontradiksi kebudayaan dalam masyarakat kapitalisme?
Entahlah, yang saya rasa jelas, kritik Daniel Bell tersebut patut dipertimbangkan. Dan jangan lupa, ekspresi seksual kalangan atas hanya satu yang terkesan irrasional, masih ada perilaku yang lain.
Salam.