Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Irasionalitas dan Prostitusi Kalangan Atas

9 Mei 2015   20:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:12 169 6
Baru saja, dari berita media online, dikabarkan bahwa seorang yang disebut-sebut artis ditangkap polisi. Ia bertarif mahal, untuk sekali short time, harganya 80 juta rupiah. Selain itu, si artis ini juga memiliki pasaran internasional. Penangkapannya adalah bagian dari usaha untuk membongkar selubung rapat yang selama ini membuat praktik prostitusi di kalangan atas serupa hantu, antara ada dan tiada, antara nyata dan desas-desus.

Tarif pakai antara 80 juta sampai 200 juta? Secara akal normal, manusia gila dari mana yang mau membuang uang sebanyak ini hanya untuk layanan singkat seks ? Tidakkah ini sesuatu yang irrasional?

Terbongkarnya prostitusi kalangan atas yang bertarif gila seperti ini, bagi saya, terbongkarnya selera dan ekspresi-ekspresi irasional yang menimpa kaum kelas atas. Sebut saja kaum kelas atas itu sebagai mereka yang bekerja keras, terdidik, menghasilkan banyak uang, karier cemerlang, namun memiliki cara menghabiskan uang yang tak jarang tidak masuk akal alias irrasional tadi.

Pertanyaan sekarang, mengapa laku irrasional itu justru menjangkiti kalangan atas ini?

Saya tidak tahu persis apa sebabnya. Jika melihat pada kalangan bawah, "sejenis prostitusi rel kereta atau kolong jembatan", ada beban-beban ekonomi yang berkelindan faktor pendidikan, termasuk trauma-trauma psikis juga jebakan mucikari, bertambah dengan "kehendak konsumsi kolektif" atas fasilitas perkotaan yang menjadi kombinasi faktor pendorong merebaknya prostitusi kalangan bawah. Maksud saya, kita masih menemukan semacam rasionalisasi yang bisa diterima oleh akal sehat mengapa prostitusi itu terjadi.

Akan tetapi, jika terjadi pada kalangan atas?

Menyebut kalangan atas pastilah merujuk pada kelompok yang secara ekonomi berdiri di atas rata-rata. Secara pendidikan, pasti terdidik, mungkin juga berderet-deret gelarnya. Pergaulan juga sudah demikian luas dan mancanegara oriented. Tapi, ketika kita membicarakan tarif prostitusi yang gila seperti kasus AA itu, rasionalisasi jenis apa yang bisa membantu kita memahami?

Apa yang menyimpang dengan selera seksual kalangan atas? Bagaimana kedudukan ekonomi mempengaruhi itu?Atau persisnya, bagaimanakah memahami hubungan antara posisi ekonomi dengan selera-ekspresi seksual?

Saya jadi ingat satu tesis Daniel Bell tentang kontradiksi kebudayaan dalam masyarakat kapitalisme yang pernah dibahas Hikmat Budiman. Hikmat Budiman membahas itu dalam bukunya Pembunuhan Yang Selalu Gagal (Pustaka Pelajar, 1999).

Kata Bell, dalam masyarakat kapitalisme mutakhir Amerika Serikat, ada perkembangan yang mencerminkan kontradiksi dalam ranah kebudayaan. Kontradiksi seperti apa?

Dalam kajian sosiologi tentang tindakan, Max Weber sebagai peletak dasarnya sudah membedakan dua jenis tindakan rasional manusia. Yakni yang berjenis rasionalitas instrumental atau Zweckrationalitaet dan rasionalitas nilai-nilai atau Wertrationalitaet.

Nah, pada rasionalitas instrumental itulah, kontradiksi terjadi. Rasionalitas mengajar prinsip efektif, efisien, kalkulasi, prediksi serta kontrol ketat dalam pencapaian tujuan dan tak jarang bisa menghalalkan segala cara. Masyarakat dengan ekonomi kapitalistik mengadopsi prinsip ini dalam mesin ekonominya, yang menjadikan kerja keras sebagai ekspresi utamanya. Laku seperti ini tecermin dalam slogan Time is Money yang terkenal itu. Jadi, kerja keras yang dituntun oleh prinsip rasionalitas instrumental itulah yang menentukan kualitas individual dalam masyarakat dengan norma-norma ekonomi kapitalisme.

Namun, dalam perkembangan masyarakat Amerika mutakhir, perilaku instrumentalis yang sarat dengan kerja keras dan pencapaian prestasi itu, tidak berbanding lurus (korelatif-afirmatif) dengan perkembangan selera pada wilayah kebudayaan. Dalam ranah kebudayaan itu, berkembang nilai-nilai hedonistik yang tumbuh subur. Nilai-nilai hedonistik yang menghamburkan dan mengeksploitasi semesta kesenangan dan menghancurkan laku kekang diri terhadap godaan dunia yang merupakan salah satu syarat dari keberhasilan perilaku ekonomi kapitalisme pada masa awal.

Sekali lagi, kritik Bell atas perkembangan masyarakat kapitalisme mutakhir itu hanya relevan pada kalangan atas yang memiliki tradisi kerja keras, karier dan pencapaian material (uang) di atas rata-rata. Saya tidak membicarakan keturunan kalangan atas yang hidup dalam keberlimpahan warisan dan energi hidupnya dikendalikan oleh oksigen hedonisme.

Apakah perkembangan seperti ini, yang pernah ditemukan Daniel Bell pada masyarakat Amerika kontemporer, juga sedang terjadi dalam kalangan atas masyarakat Indonesia? Secara spesifik, apakah dalam kasus prostitusi kalangan atas dengan tarif gila tersebut dapat dikatakan mewakili gejala kontradiksi kebudayaan dalam masyarakat kapitalisme?

Entahlah, yang saya rasa jelas, kritik Daniel Bell tersebut patut dipertimbangkan. Dan jangan lupa, ekspresi seksual kalangan atas hanya satu yang terkesan irrasional, masih ada perilaku yang lain.

Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun