Saya membayangkan penumpang yang datang lebih awal karena khawatir ketinggalan pesawat, lalu memutuskan membaca satu-dua bab buku di sini. Atau seorang pelajar yang menunggu penerbangan ke luar kota, lalu menemukan bacaan inspiratif tentang Lampung.
Bahkan bisa jadi, seorang wisatawan asing membuka komputer dan membaca kisah tentang kopi robusta Liwa atau keindahan pantai Tanjung Setia - semuanya tersedia dalam format digital.
Sebuah bayangan kecil, tapi jika diwujudkan, dampaknya bisa besar.
Usai membaca beberapa halaman buku, saya menutupnya pelan. Pandangan saya kembali menyapu ruangan kecil itu. Sederhana, tapi punya niat besar. Di dindingnya ada pesan tak tertulis: bahwa membaca masih punya tempat, bahkan di antara langkah-langkah cepat orang yang sedang mengejar waktu.
Ketika pengumuman boarding terdengar, saya bangkit. Tapi langkah saya terasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu yang saya bawa dari sudut itu, bukan sekadar cerita tentang fasilitas publik, melainkan kesadaran bahwa literasi bisa tumbuh dari hal-hal kecil: dari satu rak buku, satu komputer, atau satu orang yang mau berhenti sejenak untuk membaca.
Mungkin itu esensi sebenarnya dari “pojok baca digital”: bukan sekadar tentang teknologi, tapi tentang kesempatan untuk berhenti sejenak dan menyerap makna. Bahwa di era ketika semua orang sibuk terkoneksi, membaca tetap menjadi cara terbaik untuk terkoneksi dengan diri sendiri.
Catatan kecil:
Pojok baca digital di Bandara Raden Inten adalah langkah awal yang baik. Semoga ke depan, ruang-ruang literasi seperti ini tidak hanya rapi dan cantik secara visual, tapi juga hidup - dipenuhi pembaca, percakapan, dan semangat ingin tahu yang tak pernah padam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI