Pagi itu (15/10), saya melangkah menuju Gate 1 Bandara Radin Inten II, Bandar Lampung. Setelah melewati pemeriksaan tiket dan barang bawaan, pandangan saya langsung tertuju pada sebuah sudut yang tampak berbeda dari area lain. Di dindingnya terpampang tulisan besar: “Pojok Baca Digital.”
Sebuah ruang kecil yang rapi, sederhana, tapi cukup mencuri perhatian. Di atasnya tertulis tiga logo - Dispusip, Bank Lampung, dan Bunda Literasi. Tiga nama yang tak asing, apalagi bagi yang mengikuti perkembangan gerakan literasi di Lampung.
Saya segera mendekat. Dari kejauhan, tampak dua komputer di atas meja putih panjang, diapit rak buku di kanan dan kiri. Sebuah layar besar menempel di tengah, menayangkan informasi penerbangan dan ajakan untuk memanfaatkan layanan Free Wi-Fi.
Udara bandara yang biasanya penuh hiruk-pikuk tiba-tiba terasa teduh di sudut itu. Dua kursi hitam beroda tampak menunggu siapa pun yang ingin berhenti sejenak dari ritme perjalanan. Saya pun duduk, mencoba merasakan seperti apa pengalaman “digital reading corner” yang mulai banyak digagas di tempat umum.
Rasa penasaran membawa saya untuk mencoba salah satu komputer yang tersedia. Saat layar menyala, harapan saya sederhana - semoga ada akses menuju koleksi e-book, majalah digital, atau aplikasi literasi yang bisa diakses bebas.
Namun setelah menunggu beberapa saat, jaringan internet di komputer itu tampak tidak terhubung. Saya coba komputer satunya; kali ini koneksi berhasil, tapi isinya hanya menampilkan tampilan desktop standar. Tak ada aplikasi khusus atau portal bacaan digital seperti yang saya bayangkan.
Saya tersenyum kecil. Ada rasa sedikit kecewa, tapi juga rasa kagum. Karena, meski belum sempurna, inisiatif seperti ini tetap pantas diapresiasi.
Di tengah suasana bandara yang identik dengan mobilitas, ada ruang kecil yang mengingatkan kita untuk berhenti sebentar - membaca, merenung, atau sekadar mengisi waktu dengan hal yang lebih bermakna daripada sekadar menatap layar ponsel tanpa arah.
Saya kemudian menoleh ke rak buku di sisi kiri. Beberapa judul tersusun acak - mulai dari buku anak, buku motivasi, hingga bacaan ringan lainnya. Salah satu sampul yang menarik perhatian saya berjudul “Waspada Susah Tidur”. Saya ambil buku itu, lalu membacanya perlahan.
Ada sensasi yang berbeda saat membuka lembaran fisik di tempat transit seperti bandara. Di tengah lalu-lalang penumpang, bunyi roda koper, dan pengumuman keberangkatan, saya menemukan momen kecil yang tenang.
Membaca di bandara ternyata bisa menjadi pengalaman yang menenangkan, seperti jeda reflektif di antara perjalanan panjang.
Namun ada hal yang membuat saya merenung: selama hampir satu jam berada di sana, tak satu pun pengunjung lain yang datang dan mencoba fasilitas itu. Tidak ada yang duduk membaca, tidak ada yang membuka komputer. Pojok baca itu tetap sepi, seolah menunggu seseorang yang tak kunjung hadir.
Padahal posisi ruangnya cukup strategis, tepat di jalur ruang tunggu. Tapi sebagian besar penumpang tampak lebih sibuk dengan gawai masing-masing, menggulir layar tanpa henti. Sementara rak buku di depan mata, seakan menjadi pemandangan yang luput diperhatikan.
Saya jadi bertanya dalam hati: Ada apa dengan minat baca kita?
Apakah membaca kini kalah cepat dibanding notifikasi media sosial? Atau mungkin ruang seperti ini belum cukup “mengundang” karena tak semua tahu fungsinya? Apa pun jawabannya, rasa sayang muncul - sebab inisiatif yang bagus seperti ini bisa kehilangan maknanya jika tak ada yang memanfaatkannya.
Sambil membaca, pikiran saya melayang pada makna dari pojok baca digital ini. Di satu sisi, ia adalah simbol dari upaya menghadirkan literasi di ruang publik - bahwa membaca tak lagi harus dilakukan di perpustakaan yang sunyi atau di rumah yang nyaman.
Di sisi lain, ia menjadi bentuk adaptasi literasi di era digital: membaca bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, bahkan di tempat sesibuk bandara.
Namun, agar gagasan ini berfungsi maksimal, tentu dibutuhkan pemeliharaan dan pembaruan berkelanjutan.
Komputer yang bisa diakses dengan lancar, koneksi internet yang stabil, serta konten digital yang relevan akan membuat pengunjung tertarik untuk mencoba.
Bayangkan jika di pojok ini tersedia akses langsung ke koleksi e-book daerah, majalah Lampung tempo dulu, atau bahkan arsip digital tentang budaya lokal. Bandara bukan lagi sekadar tempat transit, tapi juga menjadi pintu masuk literasi daerah.
Saya membayangkan penumpang yang datang lebih awal karena khawatir ketinggalan pesawat, lalu memutuskan membaca satu-dua bab buku di sini. Atau seorang pelajar yang menunggu penerbangan ke luar kota, lalu menemukan bacaan inspiratif tentang Lampung.
Bahkan bisa jadi, seorang wisatawan asing membuka komputer dan membaca kisah tentang kopi robusta Liwa atau keindahan pantai Tanjung Setia - semuanya tersedia dalam format digital.
Sebuah bayangan kecil, tapi jika diwujudkan, dampaknya bisa besar.
Usai membaca beberapa halaman buku, saya menutupnya pelan. Pandangan saya kembali menyapu ruangan kecil itu. Sederhana, tapi punya niat besar. Di dindingnya ada pesan tak tertulis: bahwa membaca masih punya tempat, bahkan di antara langkah-langkah cepat orang yang sedang mengejar waktu.
Ketika pengumuman boarding terdengar, saya bangkit. Tapi langkah saya terasa sedikit lebih ringan. Ada sesuatu yang saya bawa dari sudut itu, bukan sekadar cerita tentang fasilitas publik, melainkan kesadaran bahwa literasi bisa tumbuh dari hal-hal kecil: dari satu rak buku, satu komputer, atau satu orang yang mau berhenti sejenak untuk membaca.
Mungkin itu esensi sebenarnya dari “pojok baca digital”: bukan sekadar tentang teknologi, tapi tentang kesempatan untuk berhenti sejenak dan menyerap makna. Bahwa di era ketika semua orang sibuk terkoneksi, membaca tetap menjadi cara terbaik untuk terkoneksi dengan diri sendiri.
Catatan kecil:
Pojok baca digital di Bandara Raden Inten adalah langkah awal yang baik. Semoga ke depan, ruang-ruang literasi seperti ini tidak hanya rapi dan cantik secara visual, tapi juga hidup - dipenuhi pembaca, percakapan, dan semangat ingin tahu yang tak pernah padam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI