Ada sensasi yang berbeda saat membuka lembaran fisik di tempat transit seperti bandara. Di tengah lalu-lalang penumpang, bunyi roda koper, dan pengumuman keberangkatan, saya menemukan momen kecil yang tenang.
Membaca di bandara ternyata bisa menjadi pengalaman yang menenangkan, seperti jeda reflektif di antara perjalanan panjang.
Namun ada hal yang membuat saya merenung: selama hampir satu jam berada di sana, tak satu pun pengunjung lain yang datang dan mencoba fasilitas itu. Tidak ada yang duduk membaca, tidak ada yang membuka komputer. Pojok baca itu tetap sepi, seolah menunggu seseorang yang tak kunjung hadir.
Padahal posisi ruangnya cukup strategis, tepat di jalur ruang tunggu. Tapi sebagian besar penumpang tampak lebih sibuk dengan gawai masing-masing, menggulir layar tanpa henti. Sementara rak buku di depan mata, seakan menjadi pemandangan yang luput diperhatikan.
Saya jadi bertanya dalam hati: Ada apa dengan minat baca kita?
Apakah membaca kini kalah cepat dibanding notifikasi media sosial? Atau mungkin ruang seperti ini belum cukup “mengundang” karena tak semua tahu fungsinya? Apa pun jawabannya, rasa sayang muncul - sebab inisiatif yang bagus seperti ini bisa kehilangan maknanya jika tak ada yang memanfaatkannya.
Sambil membaca, pikiran saya melayang pada makna dari pojok baca digital ini. Di satu sisi, ia adalah simbol dari upaya menghadirkan literasi di ruang publik - bahwa membaca tak lagi harus dilakukan di perpustakaan yang sunyi atau di rumah yang nyaman.
Di sisi lain, ia menjadi bentuk adaptasi literasi di era digital: membaca bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, bahkan di tempat sesibuk bandara.
Namun, agar gagasan ini berfungsi maksimal, tentu dibutuhkan pemeliharaan dan pembaruan berkelanjutan.
Komputer yang bisa diakses dengan lancar, koneksi internet yang stabil, serta konten digital yang relevan akan membuat pengunjung tertarik untuk mencoba.
Bayangkan jika di pojok ini tersedia akses langsung ke koleksi e-book daerah, majalah Lampung tempo dulu, atau bahkan arsip digital tentang budaya lokal. Bandara bukan lagi sekadar tempat transit, tapi juga menjadi pintu masuk literasi daerah.