Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Mencoba Pojok Baca Digital di Bandara Radin Inten II

16 Oktober 2025   00:41 Diperbarui: 16 Oktober 2025   18:55 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pojok Baca Digital di Gate 1 Bandara Radin Inten II, hasil kolaborasi Dispusip Lampung, Bank Lampung, & Bunda Literasi. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)

Karena membaca, sekecil apa pun momennya, tetap terasa menenangkan. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 
Karena membaca, sekecil apa pun momennya, tetap terasa menenangkan. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Ada sensasi yang berbeda saat membuka lembaran fisik di tempat transit seperti bandara. Di tengah lalu-lalang penumpang, bunyi roda koper, dan pengumuman keberangkatan, saya menemukan momen kecil yang tenang. 

Membaca di bandara ternyata bisa menjadi pengalaman yang menenangkan, seperti jeda reflektif di antara perjalanan panjang.

Namun ada hal yang membuat saya merenung: selama hampir satu jam berada di sana, tak satu pun pengunjung lain yang datang dan mencoba fasilitas itu. Tidak ada yang duduk membaca, tidak ada yang membuka komputer. Pojok baca itu tetap sepi, seolah menunggu seseorang yang tak kunjung hadir.

Padahal posisi ruangnya cukup strategis, tepat di jalur ruang tunggu. Tapi sebagian besar penumpang tampak lebih sibuk dengan gawai masing-masing, menggulir layar tanpa henti. Sementara rak buku di depan mata, seakan menjadi pemandangan yang luput diperhatikan.

Saya jadi bertanya dalam hati: Ada apa dengan minat baca kita?

Apakah membaca kini kalah cepat dibanding notifikasi media sosial? Atau mungkin ruang seperti ini belum cukup “mengundang” karena tak semua tahu fungsinya? Apa pun jawabannya, rasa sayang muncul - sebab inisiatif yang bagus seperti ini bisa kehilangan maknanya jika tak ada yang memanfaatkannya.

Sambil membaca, pikiran saya melayang pada makna dari pojok baca digital ini. Di satu sisi, ia adalah simbol dari upaya menghadirkan literasi di ruang publik - bahwa membaca tak lagi harus dilakukan di perpustakaan yang sunyi atau di rumah yang nyaman. 

Di sisi lain, ia menjadi bentuk adaptasi literasi di era digital: membaca bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, bahkan di tempat sesibuk bandara. 

Namun, agar gagasan ini berfungsi maksimal, tentu dibutuhkan pemeliharaan dan pembaruan berkelanjutan. 

Komputer yang bisa diakses dengan lancar, koneksi internet yang stabil, serta konten digital yang relevan akan membuat pengunjung tertarik untuk mencoba. 

Bayangkan jika di pojok ini tersedia akses langsung ke koleksi e-book daerah, majalah Lampung tempo dulu, atau bahkan arsip digital tentang budaya lokal. Bandara bukan lagi sekadar tempat transit, tapi juga menjadi pintu masuk literasi daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun