Ketika Risiko Benar-Benar Terjadi
Bahaya proyek di sekolah bukanlah sekadar kemungkinan. Beberapa kasus nyata membuktikan bahwa kecerobohan dalam mengelola renovasi dapat berakibat fatal.
Pada awal tahun ini, gedung SMKN 1 Cileungsi, Bogor, ambruk dan melukai 26 siswa. Peristiwa itu terjadi saat jam pelajaran berlangsung. Genteng dan rangka bangunan yang tidak kuat menimpa siswa yang sedang belajar.Â
Puluhan anak mengalami luka ringan hingga cukup parah, dan suasana sekolah yang seharusnya aman berubah menjadi kepanikan besar.
Kasus lain terjadi di SMAN 10 Bogor, di mana atap sekolah yang sedang direnovasi runtuh. Kali ini korbannya adalah tiga pekerja proyek yang tertimpa reruntuhan.Â
Meski tidak menimpa siswa secara langsung, peristiwa ini tetap menunjukkan betapa tingginya risiko renovasi di lingkungan sekolah jika tidak dikelola dengan baik. Bayangkan bila saat itu siswa masih beraktivitas di dekat lokasi proyek - dampaknya bisa jauh lebih besar.
Dua kasus tersebut menjadi pengingat penting: renovasi bangunan sekolah bukan hanya soal memperbaiki fisik, melainkan juga bagaimana manajemen keselamatan diterapkan secara disiplin. Baik siswa, guru, maupun pekerja harus sama-sama dilindungi dari risiko yang sebenarnya bisa diantisipasi.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pertanyaan penting yang sering terlupakan adalah: siapa yang bertanggung jawab menjaga keselamatan siswa selama proses rehab berlangsung? Apakah sepenuhnya tanggung jawab pihak sekolah? Atau kontraktor yang mengerjakan proyek?
Idealnya, keduanya memiliki andil. Kontraktor wajib memasang tanda peringatan, membatasi area kerja, dan memastikan material tertata aman. Sementara pihak sekolah perlu menata ulang ruang belajar, memberi pengawasan ekstra, dan mengedukasi siswa agar tidak bermain di area proyek.
Namun dalam praktiknya, pengawasan kerap longgar. Di sinilah peran guru, orang tua, dan bahkan siswa sendiri menjadi penting untuk saling mengingatkan.