Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradoks TKA: Wajib Tanpa Wajib dan Bayang-Bayang Ketidakdilan

1 Oktober 2025   05:02 Diperbarui: 1 Oktober 2025   05:02 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TKA: pintu masa depan yang menghadirkan dilema-antara kesempatan, tekanan, dan rasa keadilan. (Photo by Pixabay: https://www.pexels.com)

Ketika Ujian Nasional (UN) resmi dihapus pada 2021, publik menyambut dengan lega. UN dianggap tidak lagi relevan, terlalu menekan siswa, dan sering dipandang sebagai penentu tunggal masa depan. Pemerintah pun menegaskan, seleksi masuk perguruan tinggi maupun jalur lain akan lebih menekankan pada nilai rapor dan asesmen sekolah. Namun, hanya beberapa tahun berselang, sebuah wacana baru mengemuka: Tes Kemampuan Akademik (TKA).

Di atas kertas, TKA disebut tidak wajib diikuti semua siswa. Akan tetapi, seperti diberitakan Kompas.com (27/9/2025), nilai TKA diusulkan menjadi syarat masuk Akmil, Akpol, dan sekolah kedinasan. 

Artinya, meskipun tidak diwajibkan, TKA menjadi wajib secara de facto bagi mereka yang bercita-cita menembus gerbang pendidikan tinggi atau jalur karier strategis. Inilah paradoks kebijakan pendidikan kita: opsional di atas kertas, tapi wajib di lapangan.

Tes Kemampuan Akademik (TKA) diperkenalkan oleh Pusat Asesmen Pendidikan sebagai salah satu bentuk tes standar untuk mengukur capaian akademik murid di Indonesia. Secara resmi, TKA tidak diwajibkan. Murid tetap bisa lulus dari satuan pendidikan tanpa harus mengikuti tes ini. 

Namun, di balik statusnya yang "tidak wajib", TKA menyimpan dilema baru yang patut dicermati: siapa sebenarnya yang akan untung, dan siapa yang justru dirugikan?

Menurut Pusmendik, tidak ada konsekuensi langsung bagi murid yang tidak mengikuti TKA. Mereka tetap bisa lulus sekolah, mendapatkan ijazah, dan melanjutkan pendidikan. Akan tetapi, hasil TKA disebut dapat dipakai sebagai salah satu syarat atau pertimbangan seleksi masuk ke jenjang berikutnya. Inilah celah yang bisa menimbulkan rasa "terpaksa ikut".

Dalam praktiknya, murid yang memiliki nilai TKA berpotensi lebih diutamakan dibanding mereka yang tidak punya. Artinya, meski tidak diwajibkan, absennya skor TKA bisa menutup peluang dalam seleksi tertentu. Pada titik ini, sifat opsional TKA berubah menjadi opsional yang wajib.

Antara Warisan UN dan Cita-Cita Baru

Secara historis, UN dihapus bukan tanpa alasan. Kritik yang menumpuk sejak lama menyebut UN hanya mengukur aspek kognitif semata, mengabaikan keunikan, minat, dan bakat siswa. 

UN juga dituding memperdalam praktik bimbingan belajar (bimbel) karena sekolah maupun orang tua khawatir anak mereka gagal menghadapi “ujian pamungkas” itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun