Beberapa waktu lalu, menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Kompasiana menghadirkan program Topik Pilihan Kolaborasi dengan menggandeng Kompasianer Kak Eliza Bhakti, seorang profesional di bidang sumber daya air untuk mengajak kita menulis gagasan tentang pengelolaan air. Dan ternyata, tulisan sederhana saya menemukan jalannya sendiri di tengah konteks besar ini.
Momen yang Terjadi Begitu Tidak Sengaja
Lucunya, saya mengetahui kabar kemenangan itu pun dengan cara yang sama sekali tidak saya rencanakan. Waktu itu saya membuka laman Kompasiana seperti biasa, dan mendapati ada headline pengumuman pemenang. Rasa penasaran membuat saya menonton videonya di Instagram.
Deg-degan? Jelas. Tapi saya tidak pernah menduga akan menemukan nama saya di sana. Dan ketika benar-benar muncul - waaahhh, rasanya seperti tidak percaya. Saking tidak percayanya, saya sampai memutar ulang video itu beberapa kali, hanya untuk memastikan. Dan ya, ternyata benar: nama saya ada di antara lima artikel terpilih.
Bahagia? Tentu saja. Saya segera membagikan kabar itu di grup keluarga, lalu menuliskannya di status WhatsApp. Tak lama, ucapan selamat pun berdatangan dari berbagai arah.
Namun sekali lagi, saya tekankan, saya tidak membagikan kabar itu untuk pamer. Begitu juga dengan tulisan ini. Justru sebaliknya, saya ingin menunjukkan pada rekan-rekan saya bahwa menulis di Kompasiana bisa membawa kebahagiaan dan kejutan. Saya berharap mereka yang sudah mulai tertarik menulis bisa semakin semangat.
Julukan-Julukan yang Menggelitik
Dari momen itu, muncul pula hal-hal unik yang membuat saya tersenyum. Beberapa rekan memberi saya julukan: ada yang menyebut saya "Bapak Kompasiana," "Guru Wartawan," ada juga yang bilang "Suhu Saya." Mendengarnya tentu terasa lucu sekaligus menyenangkan.
Saya tidak merasa lebih dari mereka. Hanya saja, mungkin karena saya lebih dulu menjejakkan kaki di Kompasiana, lalu mereka ikut bergabung setelah melihat pengalaman saya. Jadi, ketika momen kemenangan itu datang, mereka merasa punya alasan baru untuk memberi semangat dengan cara khas mereka.
Julukan-julukan itu pada akhirnya menjadi candaan hangat yang justru membuat perjalanan menulis ini terasa lebih berwarna.