Gajah bukan sekadar satwa karismatik. Ia adalah penjaga ekosistem. Saat berjalan, ia membuka jalur alami, menyebarkan biji, menjaga keragaman hayati. Kehilangan gajah berarti kehilangan denyut kehidupan hutan tropis.
Namun, di ruang publik, gajah kerap hadir bukan sebagai penyelamat ekosistem, melainkan sebagai terdakwa. Judul berita: “Gajah Liar Mengamuk, Warga Rugi Puluhan Juta.” Padahal, siapakah yang lebih dulu mengamuk pada hutan?
Negeri Para Gajah Duduk
Istilah “gajah duduk” di negeri ini biasanya merujuk pada tersangka kasus besar yang tak tersentuh hukum. Tapi mari kita balikkan makna itu.
Sesungguhnya, gajah di hutan Sumatra adalah “gajah duduk” yang sebenarnya: duduk terpojok, dituduh perusak, sering mati terjerat, sementara para perusak hutan duduk tenang di kursi kekuasaan.
Ibarat metafora, gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seberang lautan begitu jelas pertanda betapa kita sering menutup mata pada persoalan besar di sekitar, namun terlalu sibuk memperhatikan hal-hal kecil yang jauh.
Hukum kita ramah pada kapital, tetapi bisu pada satwa.
- Perusahaan yang membakar hutan berdalih “investasi.”
- Jaringan perdagangan gading hanya disentuh di lapisan bawah.
- Gajah lapar yang masuk kebun justru dituduh sebagai kriminal.
Meja sidang ekologi kita kosong: tak ada hakim, tak ada jaksa. Putusan dijatuhkan sepihak - gajah harus minggir.
Suara yang Tak Punya Pengacara
Bayangkan bila gajah bisa menunjuk pengacara. Barangkali ia akan berkata:
“Yang Mulia, kami dituduh merusak kebun. Tapi bukankah kebun itu dulunya hutan kami? Bukankah para terdakwa sesungguhnya adalah manusia yang menggusur rumah kami?”
Namun itu mustahil. Gajah, harimau, orangutan - semua satwa liar tak punya pengacara. Mereka hanya punya kita: penulis, aktivis, guru, akademisi, masyarakat biasa.