Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jalan Kaki: Dari Common Sense Menjadi Civic Sense

6 September 2025   21:12 Diperbarui: 6 September 2025   21:12 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama keluarga, jalan sore berubah jadi momen hangat sekaligus gaya hidup sehat. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)

Dari trotoar hingga gang kecil, setiap langkah adalah investasi kesehatan dan kebersamaan. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)
Dari trotoar hingga gang kecil, setiap langkah adalah investasi kesehatan dan kebersamaan. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)

One in a Million Moment di Balik Jalan Sore

Kadang momen istimewa justru muncul dari hal paling sederhana. Misalnya saat jalan sore di kompleks, tiba-tiba bertemu tetangga lama yang sudah jarang disapa, atau disapa hangat oleh anak-anak kecil yang bermain, bahkan mungkin bertemu badut yang menghibur warga.

Sekilas terlihat biasa, tetapi itu adalah one in a million moment yang tak bisa dibeli dengan uang. Jalan sore memberi kejutan-kejutan kecil yang menyegarkan hari. Kita pun tersadar, kebahagiaan tak selalu datang dari peristiwa besar, melainkan dari interaksi manusiawi yang tulus.

Itulah mengapa jalan kaki tidak sekadar common sense untuk kesehatan, tapi juga bisa jadi civic sense yang memperkaya pengalaman sosial, bahkan menghadirkan "momen satu banding sejuta" di tengah kesibukan kita.

Bahaya Jika Kita Berhenti Melangkah

Sayangnya, aktivitas sederhana ini sering dianggap remeh. Kita lebih memilih mengurung diri dengan gawai, memindahkan interaksi sosial ke layar, dan membiarkan tubuh makin malas bergerak. Akibatnya berlapis:

  1. Bahaya kesehatan: meningkatnya obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung. Menurut Kementerian Kesehatan (2023), 10,9 juta orang Indonesia hidup dengan diabetes, dan gaya hidup sedentari menjadi salah satu penyebab utamanya.

  2. Bahaya sosial: berkurangnya interaksi langsung membuat modal sosial menipis. Tanpa civic sense, lingkungan bisa menjadi sekadar kumpulan rumah, bukan komunitas.

  3. Bahaya psikologis: keterputusan sosial meningkatkan risiko depresi dan kesepian, terutama di kalangan anak muda dan lansia.

Artinya, berhenti berjalan bukan hanya soal tubuh yang makin rapuh, tapi juga masyarakat yang makin renggang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun