Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menghantui perekonomian nasional. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sepanjang Januari-Juni 2025, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 42.385 orang. Angka ini melonjak 32,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Tren tersebut menunjukkan adanya gejala krisis ketenagakerjaan yang tak bisa dianggap sekadar dinamika biasa.
Di balik angka itu, ada ribuan keluarga yang mendadak kehilangan sumber nafkah. Ada anak-anak yang terancam putus sekolah, cicilan rumah yang tak lagi terbayar, hingga beban psikologis akibat rasa kehilangan identitas diri. PHK bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial, bahkan kemanusiaan.
Mengapa PHK Terjadi?
Faktor penyebab PHK berlapis. Pertama, perlambatan ekonomi global. Ketidakpastian geopolitik, perang dagang, hingga fluktuasi harga komoditas membuat industri ekspor terpukul. Perusahaan tekstil dan sepatu, misalnya, kehilangan pesanan karena daya beli konsumen luar negeri melemah.
Kedua, perubahan teknologi. Otomatisasi, kecerdasan buatan, dan digitalisasi memang mendorong efisiensi. Namun, di sisi lain, ribuan pekerja berkeahlian rendah terancam tergantikan. Fenomena ini menjadi paradoks: teknologi yang seharusnya meningkatkan produktivitas justru mempersempit kesempatan kerja bagi mereka yang tak sempat beradaptasi.
Ketiga, tata kelola industri dalam negeri. Banyak perusahaan tidak menyiapkan skema ketahanan menghadapi guncangan ekonomi. Ketika beban produksi naik dan permintaan turun, pilihan paling cepat adalah merumahkan karyawan. Di sini terlihat rapuhnya model bisnis yang masih bertumpu pada tenaga kerja murah tanpa investasi cukup pada peningkatan kualitas manusia.
Dampak Sosial PHK
PHK massal bukan hanya soal angka statistik. Efek domino yang ditimbulkan sangat nyata. Pekerja yang kehilangan pekerjaan cenderung mengalami stres, depresi, hingga konflik rumah tangga. Tidak sedikit yang kemudian terjebak dalam lilitan utang pinjaman online sebagai upaya bertahan hidup.
BPS mencatat pada Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat 4,76 persen, sedikit menurun dari periode yang sama tahun sebelumnya. Namun di sisi lain, jumlah pengangguran absolut justru meningkat, kini mencapai 7,28 juta orang. Jika tren PHK tidak segera dikendalikan dan pekerja belum terserap kembali, angka ini berpotensi membengkak.Â
Dampaknya tidak hanya mengganggu integritas pasar tenaga kerja, tapi juga menambah beban anggaran pemerintah - mulai dari bantuan langsung tunai, jaminan sosial, hingga risiko meningkatnya ketidakstabilan sosial.